Artikel Menabur Dalam Iman
Kejadian 26:12–13
Apakah Anda pernah mendengarkan doa atau pengajaran yang mengatakan “di dalam iman apa yang engkau persembahkan dan kerjakan akan diganjar Tuhan seratus kali lipat, dan itu pasti?” Rasanya kalimat ini tidak asing bukan, nampak alkitabiah, tetapi jika ditelusuri lebih dalam maka akan ditemukan sebuah kedangkalan penafsiran, jika hanya mengartikan firman Tuhan seperti demikian. Dahulu, ketika saya masih beribadah di satu gereja tertentu, hampir setiap minggu kalimat itu diucapkan entah di dalam pengajaran maupun doa berkat, sehingga tertanam di dalam diri saya (dan kemungkinan besar di dalam diri jemaat-jemaat yang hadir pada waktu itu) bahwa ketika kita mempersembahkan atau melakukan sesuatu pasti akan dibalas oleh Tuhan seratus kali lipat alias berlimpah-limpah.
Namun, pada kenyataannya sering kali tidak seperti demikian. Tentu tidak ada yang salah dengan memberikan atau melakukan sesuatu kepada Tuhan dengan berharap akan mendapat balasan dari-Nya—itu wajar saja. Yang menjadi masalah adalah jika balasan atau imbalan itu yang menjadi tujuan utama, terlebih lagi imbalannya harus berlimpah-limpah pula. Jika kita memiliki cara berpikir demikian maka kita harus hati-hati, karena sesungguhnya motivasi kita tidak benar di dalam mengikut Tuhan. Sebab kita disetir oleh faktor dan motivasi transaksi rohani daripada ketulusan dan kemurnian hati untuk taat pada Tuhan dan hendak mengenal dan mengasihi-Nya dengan sungguh.
Bacaan kita hari ini sering kali dijadikan oleh sebagian orang untuk membenarkan diri untuk perlakuan transaksi rohaninya—juga agar orang lain yakin dan percaya bahwa Tuhan akan membalas berlimpah-limpah dari apa yang mereka tabur (berikan dan lakukan) dalam hidupnya untuk Tuhan. Untuk itu, mari kita lihat kembali teks dengan seksama, apa yang sebenarnya disampaikan teks kepada para pendengarnya pada waktunya dan kepada setiap kita pada zaman sekarang ini.
Konteks kisah Kejadian 26 tidak terlepas dari letak geografis dan pergumulan umat pada waktu itu. Letak geografis Israel di mana Ishak mau menabur bukanlah tanah yang subur seperti di Indonesia dan di sana juga sedang terjadi kelaparan akibat kekurangan pangan (puncak kelaparan dapat disaksikan pada kisah Yusuf—Kejadian 42). Tanah keras, hujan belum turun, dan benih untuk ditabur adalah harta terakhir yang bisa dipakai untuk makan— dengan harapan benih akan boleh bertumbuh dengan baik, sehingga kebutuhan hidup terpenuhi. Menurut banyak ahli tafsir dan penelitian-penelitian terbaru dari kisah ini, ketika Ishak menabur di tanah itu, ia tidak sedang mengikuti “hukum rohani menabur–menuai” seperti yang sering dipopulerkan oleh gereja maupun orang-orang tertentu. Kata Ibrani yang digunakan untuk menabur adalah zāraʿ berarti menabur secara literal, bukan menabur secara metafor. Tindakan nyata dan berisiko besar di tengah situasi yang tidak pasti.
Jadi, kisah ini tidak berbicara tentang menabur-menuai rohani apalagi investasi rohani, melainkan keputusan iman. Yang lebih menarik lagi, firman Tuhan ini tidak mengatakan bahwa panen besar atau keberhasilan itu terjadi “karena Ishak menabur.” Firman Tuhan mengatakan: “Tuhan memberkati dia.” (TB2) atau TB menerjemahkan menjadi “sebab Tuhan memberkati dia.” Dengan demikian menjadi jelas bahwa fokus kisah ini bukan pada teknik menabur, bukan pada jumlah benih, bukan pada cara mempercepat hasil. Fokusnya adalah Allah yang setia pada janji-Nya, bahkan ketika keadaan tampak mustahil. Ini berarti bahwa berkat bukanlah formula yang bisa dimanipulasi. Allah tidak bisa dipaksa oleh persembahan maupun tindakan tertentu, tidak bisa ditarik oleh jumlah uang, tidak bisa diatur oleh teori investasi rohani. Allah bekerja menurut kehendak-Nya, bukan rumusan manusia.
Menabur bagi Ishak adalah tindakan ketaatan, tindakan iman dan bukan transaksi ataupun investasi rohani. Tindakan inilah yang dapat diberikan dan dilakukan Ishak dengan tetap berpengharapan pada Tuhan. Hal ini mengajar dan mengingatkan kita bahwa menabur dalam hidup pun berarti melakukan bagian kita: bertekun di dalam panggilan hidup, memberikan yang terbaik, bekerja dengan jujur, mengasihi tanpa syarat, bertekun dalam pelayanan, menabur kebaikan meski tidak ada jaminan langsung tentang hasilnya. Dan ketika kita melakukannya dalam iman, Tuhan sendiri yang akan memberi pertumbuhan sesuai kasih karunia-Nya. Tentu saja Tuhan dapat membalasnya seratus kali lipat dan hal ini sering dialami oleh banyak orang-orang Kristen. Apa pun yang menjadi respon dan balasan Tuhan, itulah yang terbaik. Bukan imbalan atau balasan seratus kali lipat itu dasar dan inti dari pemberian dan tindakan kita terhadap Tuhan, tetapi cinta, ketaatan dan kasih kita kepada-Nya—Allah yang setia Sang Penjaga dan Pemelihara setiap kita yang taat dan setia pada-Nya.
Keadaan lingkungan dan pergumulan yang dialami Ishak, tidak memupuskan iman dan harapannya untuk menabur dan melakukan yang terbaik di dalam hidupnya. Kiranya hal ini juga menginspirasi kita, bahwa walaupun lingkungan dan hidup kita sedang tidak baik-baik saja—tetaplah kita menabur dan memberikan yang terbaik untuk Tuhan. Justru di dalam situasi ini Tuhan sedang melatih kita untuk semakin dewasa dan mengandalkan-Nya. Tuhan mengundang kita untuk menabur dengan hati yang percaya, bukan dengan mentalitas untung rugi. Kita dipanggil untuk setia, bukan spekulatif— taat, bukan manipulatif, sehingga di dalam keadaan bagaimana pun kita dapat senantiasa berpengharapan kepada Allah dan taat dan setia pada-Nya. Renungkanlah, dalam aspek apa dalam hidupmu Tuhan sedang memintamu “menabur dalam iman”—bukan karena hasilnya pasti, tetapi karena Ia setia menyertai langkahmu?
Ev. Malemmita