Artikel Berbahagialah Orang Yang Hidup Dalam Kerendahan Hati!
Filipi 2: 1-11
新年快乐 (Xin Nian Kuai le), 新年心祝福(Xin Nian Xin Zhu Fu). Selamat tahun baru dan selamat menyambut berkat-Nya dengan hati yang senantiasa baru dan diperbaharui di dalam-Nya. Ucapan-ucapan yang diucapkan di setiap perayaan imlek adalah ucapan-ucapan yang dipenuhi dengan kebahagiaan. Dan oleh karena berbahagia dan mensyukuri berkat Tuhan, maka orang-orang Tionghoa zaman dulu pun merayakan Chun Jie (Imlek). Orang-orang Tionghoa pada zaman dulu, termasuk harusnya setiap kita pada zaman sekarang ini adalah orang-orang yang menghargai dan menikmati kehidupan, sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa yang menjadi salah satu tujuan hidup setiap orang adalah mencari kebahagiaan! Namun sayang sekali, di dalam mencari kebahagiaan seringkali seseorang belum atau menemukannya karena salah mencari, sebab kebahagiaan yang sejati erat hubungannya dengan Sang Sumber Kebahagiaan itu sendiri, yakni Allah itu sendiri.
Jika kita memerhatikan dengan sungguh-sungguh perkataan Tuhan Yesus di dalam khotbah-Nya di bukit, maka kita akan mengerti dengan benar apa yang dimaksud Tuhan dengan kebahagiaan atau di dalam bacaan kita hari ini disebut juga dengan istilah sukacita yang sempurna (Filipi 2;2). Tuhan Yesus mengatakan “Berbahagialah orang yang rendah hati; Allah akan memenuhi janji-Nya kepada mereka” (Matius 5:5 BIS), TB2 menerjemahkan kata “rendah hati” menjadi “lemah lembut”. Berarti mestinya orang yang rendah hati adalah orang yang lemah lembut dan demikian sebaliknya. Jadi, jika kita rindu untuk benar-benar berbahagia, tidak hanya di saat imlek ini tetapi setiap hari, maka kita harus hidup di dalam kerendahan hati, rendah hati sebagaimana Kristus Tuhan yang juga adalah rendah hati.
Hidup jemaat Filipi di dalam konteks bacaan kita hari ini jauh dari kata berbahagia, sebab mereka sedang dilanda berbagai persoalan, dimana sumber persoalan itu salah satu satunya adalah karena di antara jemaat ini terdapat orang-orang yang hidup di dalam keegoisan alias hanya mencari kepentingannya sendiri sehingga jemaat ini rentan terhadap perpecahan. Oleh karena itu, Tuhan menasihatkan mereka, pertama adalah agar mereka hidup bersama dengan pikiran dan perasaan Kristus (ay. 1-5). Artinya segala pikiran, rencana, dan hati mereka mestilah semua diarahkan kepada Kristus dan sesuai apa yang dikehendaki Kristus. Demikian juga mestinya kepada setiap kita, setiap kita jangan ada lagi yang hanya mengutamakan keinginan dan kepentingannya saja, tetapi mesti seperti teguran Tuhan kepada jemaat Filipi bahwa kepentingan Kristuslah yang mesti menjadi pertama dan yang utama sebab dengan mementingkan apa yang Tuhan pentingkan sesungguhnya itu adalah untuk kebaikan kita sendiri. Seperti lirik lagu PKJ 103 “Cari dahuku Kerajaan Allah, dan Kebenaran-Nya, maka semua ditambahkan padamu,” (Mat 6:33).
Kedua adalah agar jemaat Filipi (dan tentunya juga setiap kita) hidup di dalam kerendahan hati dengan meneladani kerendahan hati Kristus sebagaimana yang dicatat oleh Filipi 2: 6-8 yang mengatakan “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib”. Kerendahan hati Kristus nampak dengan jelas ketika Ia mengosongkan diri-Nya untuk merendahkan diri dan menjadi manusia bahkan bahkan rela mati di atas kayu salib untuk menebus dosa-dosa dan pelanggaran setiap kita. Karena hanya Dia Anak Domba Allah yang tidak bercacat dapat menggantikan kita yang penuh cacat cela ini sehingga kita layak kepada Kerajaan Kekal-Nya. Alan Turner mengaitkan pengosongan diri Kristus dengan tindakan-Nya “megambil rupa seorang hamba” (lambano). Menurut Turner, kata lambano berbentuk aorist participle, yang dapat diartikan “having taken” Maka pengosongan diri Yesus terjadi bukan sebelum melainkan bersamaan (ketika) Ia mengambil rupa seorang hamba. Artinya ada kesadaran untuk memilih mengosongkan diri dibandingkan kemungkinan untuk mendapatkan kekuasaan.
Jadi sikap kerendahan hati disini adalah sebuah kesadaran untuk memilih apa yang Tuhan inginkan dan pentingkan, kesadaran untuk lebih memilih taat pada-Nya, menyenangkan hati-Nya daripada mengikuti ego dan keinginan, kekuasaan saya. Jadi orang yang rendah hati akan rela mengorbankan kenyamanannya, apa yang ia inginkan untuk mewujudkan apa yang seharusnya, apa yang benar-benar diinginkan Allah. Di dalam kehidupan sehari-hari, maka orang yang rendah hati akan lebih memilih menderita, tidak nyaman, dan menjadi seorang hamba demi Allah daripada menjadi orang yang hidup enak, nyaman, menjadi tuan, tetapi menjadi orang yang tidak dikenankan Allah. Jadi, orang yang rendah hati adalah orang yang dirinya rela meredup demi merebak dan bercahayanya terang Tuhan . Coba periksa dirimu jika engkau masih ingin menjadi pusat perhatian, selalu ingin didengar daripada mendengar, selalu ingin dimengerti daripada mengerti, selalu ingin dilayani daripada melayani, maka engkau bukanlah orang yang rendah hati! Mohonlah ampun dan permbaharuan dari Roh Kudus-Nya!
Setelah menjadi manusia, Kristus mengambil rupa sebagai seorang hamba untuk menunjukkan apa itu kasih dan kerendahan hati yang sejati di dalam diri, yang dimiliki oleh setiap kita yang percaya kepada-Nya. Namun, tidak hanya itu, firman Tuhan juga mengatakan bahwa Ia telah mengosongkan diri-Nya. Mengosongkan diri (kenosis).Mengosongkan diri bukan berarti tahta Kekuasaan Semesta itu menjadi kosong. Mengosongkan diri berarti Ia memberadakan diri sepenuh-Nya di dalam kemanusiaan-Nya sehingga Ia adalah Allah juga sekaligus manusia. Seringkali banyak orang menyalahpahami apa arti mengosongkan diri. Di dalam meditasi Kekristenan pun terdapat kata mengosongkan diri yang bukan berarti ketika berdoa dan merenunkan firman Tuhan kita mengosongkan diri, alias diri kita benar-benar kosong, tetapi mengosongkan diri maksudnya adalah mengosongkan hal-hal yang menguasai kita, entah itu harta, materi, kekuasan, dsb, sehinga dengan mengosongkan hal-hal yang melekat itu semua kita dapat hadir penuh utuh ketika kita sedang berdoa dan merenungkan firman-Nya. Dengan demikian kita dapat benar-benar menikmati kehadiran-Nya.
Kristus mengosongkan diri-Nya berarti memberadakan dirinya sepenuhnya sebagai manusia, sebagai hamba, yang menderita untuk dosa-dosa kita. Ia yang Mahatinggi itu, rela turun kedunia “mengosongkan diri-Nya” dari kekuasaan-Nya, demi setiap kita. Ini adalah pengorbanan-Nya sebelum Ia berkorban di kayu salib, dan pengorbanan ini yang membedakan pengorbanan yang dilakukan manusia pada umumnya dengan pengorbanan Allah untuk manusia. Ini adalah bentuk kerendahan hati Allah yang mesti kita hidupi dan teladani. Kerendahan hati yang mengejawantah di dalam kehidupan sehari-hari, kerendahan hati yang relah berkorban, rela tidak diutamakan, rela tidak diakui, rela tidak nyaman, rela tidak disukai, sebab yang paling penting adalah menjadi yang disukasi dan disenangi Allah, melakukan apa yang menjadi isi hati, kehendak, dan rancangan-Nya! dan ketika kita hidup di dalam kerendahan hati, maka Allah lah yang menguasai kehidupan kita sehingga hidup kita dipenuhi dengan kebahagiaan. Ketika kita dapat hidup dengan kerendahan hati maka kita akan menjadi saksi-saksi-Nya yang hidup dan biarlah semuanya memuliakan nama-Nya, bertekuk lutut di hadapan-Nya, dan mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan demi kemuliaan-Nya (Fil 2: 10-11). Amin!
Ev. Malemmita