Pendalaman Alkitab Yehezkiel 22-23 - OHOLA DAN OHOLIBA
Di dalam Alkitab terdapat banyak jenis hukum-hukum atau bisa disebut juga sebagai peraturan-peraturan. Tujuan hukum ataupun peraturan ini adalah sebagai panduan hidup umat Allah agar senantiasa hidup dengan taat dan setia, hidup di dalam Allah. Sebab, di dalam sepanjang sejarah umat pilihan-Nya, umat-Nya sering kali hidup tegar tengkuk, sehingga Allah rindu secara langsung memimpin kehidupan mereka dengan firman-Nya yakni dengan hukum dan peraturan-Nya. Salah satu hukum yang sangat terkenal adalah hukum kekudusan, di samping hukum kasih dan anugerah. Ciri khas hukum kekudusan ini nampak jelas terlihat pada kitab Taurat yakni di dalam sepuluh perintah Allah.
Menurut D.A. Hubbard, melalui hukum kekudusanlah umat Allah dipanggil untuk hidup kudus. Kudus di sini dimaksudkan di dalam dua pengertian; pertama, kudus dalam arti tidak bercacat, suci, maupun murni, sebagaimana Allah yang mahakudus dan suci. Kedua, kudus di dalam arti dipilih dan dipisahkan secara khusus oleh Allah sebagai umat pilihan-Nya sesuai rencana dan rancangan-Nya. Jadi Allah rindu agar setiap umat-Nya, setiap kita agar dapat hidup kudus sebagaimana Ia adalah kudus. Agar kita hidup di dalam Dia, di dalam pimpinan dan panduan-Nya. Oleh karena itu Allah tegas dan keras di dalam teguran bahkan hukuman jika umat-Nya melanggar kekudusan tersebut. Ini semua karena Allah sangat mengasihi setiap umat-Nya.
Di dalam Yehezkiel 22 dan 23 kita akan menemukan pelanggaran demi pelanggaran terhadap hukum kekudusan yang dilakukan oleh umat Israel. Umat menentang Allah, tidak mau hidup dengan pimpinan dan panduan-Nya, sehingga kehidupan umat Israel semakin dalam terjerumus di dalam kebobrokan dan dosa-dosanya. Hati mereka makin mengeras. Mereka tidak hanya tidak mau sadar dan bertobat, bahkan mereka memandang ringan terhadap hal-hal yang kudus bagi Tuhan dan menajiskannya (Yeh 22: 8).
Hukum kekudusan setidaknya dapat kita temukan di dalam Sepuluh Perintah Allah pada Keluaran 20 maupun Ulangan 5. Di sana dengan jelas dikatakan bahwa umat Allah harus fokus kepada Allah dan hidup kudus dengan mengenyahkan berhala-berhala di dalam kehidupan mereka. Umat harus hidup hormat kepada orang tua, tidak membunuh ataupun menumpahkan darah, memandang kudus perkawinan, tidak mengingini dan mendambakan apa yang dimiliki oleh orang lain, dst. Namun, sangat memprihatinkan, jika kita membaca bacaan hari ini dengan seksama maka pada Yehezkiel 22: 1-31 kita akan menemukan bahwa semua yang dicatat oleh hukum kekudusan di dalam Sepuluh perintah Allah itu dilanggar oleh umat Israel. Mereka melupakan Tuhan, menyembah berhala, menumpahkan darah, menajiskan hari Sabat, mengingini dan mendambakan milik orang lain, tidak hormat pada orang tua, bahkan mereka mencemarkan perkawinan yang diinisiasi oleh Allah sendiri, dll.
Hati umat menjadi keras karena tipu daya dosa. Mereka dimabukkan dan dijerat oleh nafsu dan keinginan yang tidak pernah ada habisnya seperti orang yang kecanduan narkoba ataupun pornografi sehingga hukuman yang menanti mereka pun tidak terelakkan (ay. 20-31). Oleh karena itu tidak mengherankan jika penulis Yehezkiel memilih cerita ataupun perumpamaan hal-hal yang berbau seksualitas vulgar untuk menjelaskan lebih detail mengenai apa yang terjadi pada umat Israel melalui kisah Ohola dan Oholiba.
Di dalam Yehezkiel 23: 4 dikatakan “Nama yang tertua ialah Ohola dan nama adiknya ialah Oholiba. Mereka Aku punya dan mereka melahirkan anak-anak lelaki dan perempuan. Mengenai nama-nama mereka, Ohola ialah Samaria dan Oholiba ialah Yerusalem”. Jadi di sini dengan tegas dikatakan bahwa Ohola merujuk pada Samaria dan Oholiba adalah Yerusalem. Dengan kata lain mereka adalah sama-sama Israel, satu Ibu, yang sejak mula bahkan ketika di Mesir pun mereka telah melanggar hukum kekudusan dengan bersundal (Yeh 23: 2-3). Sebagai umat Allah, kepunyaan-Nya, yang berarti juga dapat diartikan sebagai “pasangan-Nya”, jelas-jelas dikatakan bahwa Ohola menghianati-Nya dengan mendua hati, dengan bersundal yakni dengan berhala-berhalanya.
Di dalam catatan Perjanjian Baru bukanlah hal sukar kita temukan yang mengatakan bahwa gereja, umat-Nya merupakan “mempelai perempuan-Nya, pengantin-Nya,” misalnya di Efesus 5:25-27, Wahyu 19:7-9;21:1-2, dll, demikian juga dengan Ohola dan Oholiba sebagaimana dijelaskan oleh ayat 2-3 di atas. Ini menunjukkan bahwa relasi Allah dengan umat-Nya itu seperti relasi suami-istri, relasi yang intim, dengan cinta yang tulus murni, dan penuh hormat kekudusan. Akan sangat menyakitkan hati sekali jika pasangan kita mendua hati dan bersundal seperti Ohola bukan? Ini yang Allah rasakan terhadap Samaria, Israel. Mereka telah lama main api dan akhirnya api itu tidak dapat dipadamkan, dan kemudian membumihanguskan mereka. Parahnya lagi mereka tidak belajar dari masa lalu ketika mereka di Mesir ataupun ketika keluar dari Mesir di mana mereka juga mendua hati dari Allah sehingga Allah murka. Dan pada masa Yehezkiel mereka juga jatuh ke lobang yang sama yakni dosa persundalan, mereka jatuh ke dalam pelukan Asyur (ay. 5-10).
Nahasnya, ternyata apa yang terjadi dan menimpa Ohola (Samaria) berlalu begitu saja bagi sang adik, Oholiba (Yerusalem). Dengan kata lain, kejadian yang menimpa Ohola tidak berdampak apa-apa bagi Oholiba, apalagi menginsafkannya. Hatinya makin mengeras dan mati rasa. Jauh dari pertobatan. Ia justru semakin menjadi-jadi dan terjerumus lebih dalam kepada jurang kebobrokannya melebihi kakaknya melalui persundalannya (ay. 11 dan 19). Dan dikarenakan hal ini, Oholiba pun mendapat penghukuman sama seperti kakaknya. Ayat 30 mengatakan bahwa ia akan minum dari pialanya (kakaknya). Hal ini diulangi kembali dalam bentuk puisi-prosa pada ayat 33 dengan mengatakan “Engkau akan penuh kemabukan dan dukacita. Piala kengerian disertai kesunyian ialah piala kakakmu Samaria”. E.G Singgih mengatakan bahwa penghukuman ini benar-benar mengerikan di mana tidak akan ada satu orang pun yang akan bersimpati maupun empati, Yehezkiel pun tidak. Dan jika kita teliti dengan seksama bacaan hari ini, kita akan menemukan bahwa penghukuman itu tidak hanya tarjadi pada suatu saat nanti, tetapi juga akan segera terjadi pada saat itu (ay. 46-47).
Mungkin sebagai pembaca zaman sekarang kita akan berkata “kok kasihan banget ya mereka-mereka ini dengan hukuman-hukuman mengerikan seperti yang Yehezkiel gambarkan!”. Perasaan demikian tentulah hal yang baik, karena memantik simpati dan empati kita. Tetapi coba kita renungkan apakah saat ini kita yakin kita tidak terjerat oleh dosa yang sama dengan Ohola dan Oholiba dengan segala tipu dayanya? Jika di dalam perenungan kita, kita pun menemukan bahwa kita pun mungkin terperangkap hal yang sama maka mari kita memohon pertolongan Roh Kudus untuk melembutkan hati kita dan bertobat. Kita perlu ingat bahwa di pasal-pasal sebelumnya umat telah ditegur dengan keras agar mereka berbalik kepada Allah dari dosa dan kekerasan hati mereka. Tetapi mereka tidak memedulikannnya. Di dalam bacaan kita hari ini juga dapat kita saksikan bahwa Allah masih berbelas kasihan kepada mereka (ay. 30), tetapi mereka tidak juga berbalik pada-Nya.
Ohola dan Oholiba adalah sama-sama Israel yang notabennya adalah umat pilihan Allah, yang dipersiapkan-Nya untuk hidup di dalam rencana dan rancangan-Nya sehingga mereka dipanggil untuk setia dan taat dengan hidup kudus. Tetapi hidup mereka sama sekali tidak menunjukkan teladan sebagai umat pilihan Allah. Mereka melakukan yang sebaliknya dari apa yang dirancangkan Tuhan, mereka berkeras hati dengan sengaja menajiskan diri dengan segala berhala dan persundalannya. Bahkan teguran dan didikan dari Allah dianggap seperti angin lalu. Sebagaimana Ohola dan Oholiba adalah umat pilihan Allah, setiap kita juga adalah umat pilihan Allah. Dan sebagai umat pilihan kita perlu berkaca dari pengalaman dan apa yang telah dialami oleh pendahulu-pendahulu kita sehingga kita tidak jatuh pada jerat dan lobang yang sama yakni jerat persundalan dengan penyembahan berhala, dan jerat-jerat dosa dengan segala bentuk caranya.
Kita telah banyak belajar dari sekolah kehidupan maupun dari firman Tuhan. Dan oleh karena itu, mestinya cara kita memandang dan menghidupi hidup dari hari ke hari mestilah berbeda. Namun hal ini tidak akan pernah terjadi jika kita masih mengeraskan hati kita dan tidak mau sadar dan mengenyahkan segala berhala di dalam hidup kita sebagaimana yang terjadi pada Ohola dan Oholiba. Dosa dan segala manifestasinya itu ibarat kegelapan di dalam hidup, dan untuk mengenyahkannya, kita harus dengan tekun datang pada Tuhan dan mendengar suara dan tuntunan-Nya. Kita harus melembutkan hati kita, dan fokus kepada Kristus, Sang Terang itu untuk mengenyahkan segala dosa dan kegelapan yang mengintai ataupun telah menyelimuti kita.
Pada saat ini mari kita memeriksa diri kita “adakah kegelapan atau berhala-berhala yang selama ini menjebak dan menjerat kita dalam bentuk dan cara apa pun, sehingga itu menjadi candu bahkan penyakit di dalam kehidupan kita di dalam mengikut Tuhan?” Mari kita melembutkan hati kita dan mohonlah kepada Kristus Sang Terang itu untuk menolong kita mengenyahkan segala kegelapan itu. Dan biarlah hanya terang dan cinta-Nya yang menguasai setip kita, seperti sebuah lagu PKJ 308 atau dinyanyikan juga dalam nyanyian Taize, “Jesus Le Christ”
Yesus terang-Mu pelita hatiku
Jangan kegelapan menguasaiku
Yesus terang-Mu pelita hatiku
Biar selalu kusambut cinta-Mu
Ev. Malemmita P