Search

Pendalaman Alkitab Apa Pilihanmu?

Yeremia 40-41

Manusia akan cenderung lebih mudah untuk bersyukur dan berharap kepada Tuhan ketika kondisi hidup kita baik-baik saja. Mengapa demikian? Karena kita bisa melihat secara nyata apa yang menjadi pemeliharaan Tuhan dan pekerjaan Tuhan di dalam hidup kita. Namun bagaimana ketika ternyata tidak banyak hal baik yang terjadi dalam hidup kita? Bisa jadi iman kita mulai lemah terhadap Tuhan, karena kondisi hidup kita sepertinya tidak baik.

Kita akan melihat bagaimana konteks kehidupan di dalam Yeremia 40-41 ini. Di Yeremia 40 ayat 1, dapat dilihat dengan jelas kalau ini adalah setelah pembuangan. Jadi keadaan di Yehuda sedang tidak baik-baik saja, bahkan sedang dalam titik nadir atau titik terendahnya. Bayangkan bagaimana perasaan atau pikiran orang-orang Yehuda yang mengalami pembuangan, mereka pasti sangat sedih, frustrasi, mungkin penuh penyesalan mengapa mereka tidak mendengarkan suara Tuhan.

Dalam hal ini konteksnya adalah bagaimana Yeremia beserta orang-orang yang dibuang ke Babel. Apa yang terjadi pada Yeremia? Ternyata Yeremia diberikan diberikan kesempatan untuk bebas dari pembuangan dan tidak ikut ke Babel, tapi pergi kembali ke Yehuda (40:4-5). Yeremia pun pergi kepada Gedalya bin Ahikam, yaitu penguasa diberikan mandat oleh Babel di Mizpa.

Dari sini dapat dilihat bahwa masih ada kehidupan di Yehuda Raja Babel ketika melakukan penyerangan terhadap Yehuda membiarkan sejumlah orang tetap tinggal di Yehuda (40:7). Kalau kita membaca ini sebagai orang Yehuda atau berusaha untuk menaruh diri kita di dalam dunia teks, maka kita menemukan adanya pengharapan. Mengapa demikian? Sebab walaupun sebagian besar bangsa Yehuda dibuang ke Babel, ternyata ada dari bangsa Yehuda yang ditinggalkan di Babel. Apa saja yang dilakukan Gedalya di Yehuda? Gedalya menyuruh sisa Yehuda untuk mengumpulkan anggur, buah-buahan, minyak di sana (40:10)

Di dalam narasi Yeremia 40-41 ini kita akan menemukan beberapa karakter yang menarik. Salah satunya adalah Gedalya. Gedalya ini sepertinya adalah pemimpin yang baik. Dia memikirkan bagaimana suplai makanan bisa tetap ada di Yehuda. Bagaimana kita tahu ia memerintah dengan baik? Rakyat mengikuti perintahnya, mereka mengumpulkan banyak sekali anggur dan buah-buahan (40:12).

Kalau kita ada di Yehuda mungkin kita mulai punya pengharapan. Mulai ada harapan bahwa bangsa ini bisa dibangun kembali. Namun apakah semuanya lancar? Kita bisa lihat bersama di ayat 14-16. Gedalya diberitahu oleh seseorang bernama Yohanan bin Kareah, bahwa ada raja yang bernama Ba’alis yang menyuruh Ismael bin Netanya untuk membunuh Gedalya. Gedalya tidak percaya bahwa Ismael akan membunuh dia sebagaimana yang dibertahu Yohanan.

Apa yang terjadi pada Gedalya? Kira-kira dia mati atau tidak? Gedalya dibunuh oleh Ismael (41:1-2). Gedalya tidak peka terhadap ancaman yang menunggu dia, ia memilih yang salah dan bersikap arogan sehingga tidak memperhatikan peringatan yang ada. Pemerintah di Mizpa dibunuh.

Maka pertanyaan lebih lanjutnya adalah siapakah Ismael dan mengapa dia membunuh Gedalya? Ismael adalah orang yang merupakan keturunan raja Daud (41:1) Dalam kata lain Ismael ini seorang yang punya “darah biru” atau “darah ningrat.” Apa hubungannya dengan tindakan Ismael terhadap Gedalya? Tentu saja sebagai orang yang adalah keturunan raja, ia memiliki ambisi dan keinginan untuk berkuasa. Dia tidak bisa menerima bahwa yang memerintah bangsa Yehuda adalah orang Babel. Lebih parah lagi, Ismael juga membunuh orang-orang yang adalah pejabat tinggi atau asisten dari Gedalya, dan orang-orang Kasdim.

Pertanyaan lainnya adalah apakah ibadah masih ada di Yehuda setelah pembuangan? Dapat dilihat di pasal 41 ayat 5, di mana ada orang-orang yang datang dari Sikhem, Silo dan Samaria yang pergi ke rumah Tuhan. Praktik mencukur rambut, menorehkan badan dan mengoyak pakaian ini sebetulnya lambang dukacita yang besar, tetapi pada faktanya mereka masih beribadah. Apa yang terjadi pada orang-orang yang beribadah ini? Mereka dibunuh, disembelih oleh Ismael dan mayatnya ditaruh di sebuah sumur. Bukan hanya itu saja, tapi Ismael menawan atau menangkap semua orang yang di Mizpa.

Bayangkan kalau kita ada di sana, apa yang kita rasakan? Awalnya ada pemerintah yang hendak memelihara kehidupan bangsa jajahannya (Yehuda), lalu orang itu dikudeta dan dibunuh oleh orang Yehuda sendiri, yaitu Ismael. Membayangkan di sebuah gereja, ada sekelompok jemaat yang memberontak kepada pendetanya bersama majelis-majelisnya saja sudah sangat kacau, ini dibunuh. Betapa mengerikannya! Ini seperti tinggal di sebuah gereja yang tidak ada kejelasan dalam status pemimpinnya, jemaatnya tidak tahu mau di bawa ke mana, ada konflik yang besar dan ada pertengkaran yang hebat. Ini adalah gereja dalam kegelapan, tidak ada Firman, tidak ada damai sejahtera, yang ada hanyalah kekacauan, pemberontakan dan pembunuhan, gereja tanpa Allah.

Jikalau Ismael dilihat sebagai gembala atau pejabat tinggi gereja, siapa yang mau dipimpin oleh dia? Orang yang menimbulkan kekacauan, trauma dan kepahitan di gereja. Orang yang sudah membunuh sesama penguasa atau pejabat tinggi di dalam gereja. Tentu saja tidak ada! Namun masalahnya Ismael itu menawan seluruh jemaat yang ada di Mizpa, dan mereka tidak punya pilihan selain taat kepada Ismael karena nanti mereka akan dibunuh dan dihabisi kalau tidak taat.

Pada akhirnya memang Yohanan datang dan berhasil menarik kembali tawanan yang ditawan oleh Ismael. Namun apakah Yohanan pemimpin yang baik? Di kemudian hari, di dalam pasal berikutnya (Yer. 42-43) kita bisa menemukan bahwa di bawah pemerintahan Yohanan, orang Yehuda itu malah akhirnya berharap kepada Mesir (41:17-18), padahal Firman Tuhan berkata mereka harus menjauh dari Mesir.

Sadarkah bahwa ada hal yang sangat menarik di dalam narasi Yeremia 40-41 ini. Bahwa nama Allah (Elohim) atau Tuhan (Yahweh) itu hampir tidak ada, nama Tuhan hanya disinggung di dalam bagian awal pasal 40. Apa artinya? Dalam konteks ini, Firman-Nya tidak diberitakan, mereka yang memimpin melakukan kejahatan, umat hidup tanpa janji dan petunjuk dari nabi-Nya.

Maka yang menjadi pertanyaan adalah, di manakah Yeremia di dalam perikop ini? Kita bisa lihat bahwa Yeremia itu ada di Mizpa, artinya apa? Artinya Yeremia melihat seluruh tragedi yang terjadi di Mizpa. Mulai dari pembunuhan Gedalya, pembunuhan orang-orang yang datang beribadah, ditawan oleh Ismael. Yeremia melihat seluruh kegelapan yang ada di Mizpa.

Namun pertanyaan yang sangat penting adalah, apakah Yeremia berhenti mencari Tuhan? Jawaban singkatnya, tidak. Di Yeremia pasal 42, kita menemukan bahwa Yeremia tetap berusaha untuk berdoa kepada Tuhan dan mendengarkan suara Tuhan. Yeremia tetap percaya bahwa di tengah bencana dan kegelapan, Tuhan tetap ada.

Sadar atau tidak, kita hidup dalam dunia yang penuh dengan pergumulan. Bahkan mungkin sebagian atau banyak dari kita yang mengalami pergumulan. Kita mungkin mengalami sakit penyakit, kita mungkin menantikan janji Tuhan yang sepertinya sampai sekarang tidak digenapi, kita mungkin ada pergumulan di dalam pekerjaan kita atau kesulitan dalam mengurus keluarga kita. Mungkin saja kita kehilangan orang-orang yang kita kasihi atau mengalami kepahitan karena keadaan dunia ini.

Salah satu kebingungan yang saya alami dalam membaca teks ini adalah “di manakah Tuhan di dalam teks ini?” Apakah Allah tidak hadir dan absen? Tapi mungkin justru itu pertanyaan yang sengaja Tuhan kasih di dalam perikop yang gelap dan berdarah ini. Apakah kita bisa menemukan Tuhan di dalam kegelapan? Apakah kita bisa menemukan adanya harapan dalam Tuhan walaupun kita lagi terpuruk dan menderita? Justru ketika teks ini tidak berbicara Tuhan secara langsung, di situlah kita sebagai pembacanya ditantang, apakah kita bisa mencari dan melihat Tuhan di dalam keadaan di mana sepertinya Ia tidak ada. Apakah kita percaya bahwa Tuhan hadir ketika kita mengalami kepahitan?

Di dalam kesulitan hidup, kita bisa memilih menjadi Ismael, yang memilih untuk hidup dengan pemikiran sendiri, dengan ambisi pribadi, dengan penuh amarah. Tetapi kita juga bisa memilih untuk hidup terus menantikan Allah, mencari wajah-Nya bahkan di saat Ia sepertinya tidak hadir di tengah kekacauan. Di dalam kitab Ratapan yang merupakan curhatan Yeremia setelah Yehuda dibuang, Yeremia menuangkan seluruh perasaannya, dukacita, kesedihannya kepada Tuhan dan ia memilih untuk percaya kepada kasih setia Tuhan yang baru setiap hari dan besar (Rat. 3:22-23). Mengapa Yeremia bisa berkata demikian? Karena ia menaruh percaya bukan pada kondisi, tetapi pada Allah itu sendiri.

Maukah kita tetap percaya pada Tuhan di tengah kegelapan? Bersandar penuh pada kekuatan dan anugerah-Nya di saat dunia menjadi sangat kacau? Menantikan janji-Nya dan kehadiran-Nya di tengah ketidakpastian? Jikalau Yesus Kristus sudah mengalahkan kematian, maka kita bisa keyakinan yang sangat kuat bahwa Allah tetap hadir di dalam masa-masa yang gelap. Kita akan melihat bahwa pribadi Allah yang hadir dan mengasihi kita itu menjadi jawaban yang cukup bagi kita, bahkan ketika permasalahan yang berat terus menerus ada.

 

Sdr Gideon Gunothama