Search

Doa Bagaimana Saya Berdoa?

Saya adalah orang yang tidak suka berdoa. Saya merasa doa hanyalah tugas orang-orang super rohani. Saya merasa doa adalah sesuatu yang sangat sulit, melelahkan dan sangat membosankan. Sama seperti yang pernah dirasakan oleh Sarah Byuti Cendana, saya sering harus memeras otak untuk memikirkan kata-kata doa. Sama seperti yang dialami Sarah, saya sering kehabisan kata-kata di dalam doa. Sampai saya menyadari bahwa saya telah salah berdoa karena doa saya bersifat ego-sentris. Sarah akhirnya belajar bahwa berdoa yang sesungguhnya bukan tentang dirinya, tetapi tentang TUHAN. Sarah belajar doa yang dipimpin oleh Roh Kudus (Roma 8:26-27).

Selama ini, saya telah menjadikan doa sebuah aktivitas agama. Saya berdoa sebagai seorang Kristen dan bukan sebagai seorang anak Allah (kekristenan yang sesungguhnya). Saya bagaikan orang yang berseru, “TUHAN, TUHAN…” tetapi TUHAN menjawab, “Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari hadapan-Ku” (Mat. 7:23). Saya merasa saya sudah berdoa, tetapi sebenarnya saya hanya mengucapkan kata-kata, tetapi saya belum benar-benar berdoa karena saya tidak berelasi dengan Dia. Saya adalah orang yang TUHAN katakan, “Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan?” (Luk. 6:46). Saya berseru, “Tuhan, Tuhan!” tetapi saya tidak sungguh-sungguh berdoa.

Maka saya mulai haus terhadap doa. Saya belajar bagaimana berdoa dari orang-orang yang mengkhususkan waktu berjam-jam setiap hari di dalam doa. Saya menyadari berdoa dimulai dari sebuah kerinduan yang mendalam untuk berada di hadirat-Nya. Maka saya berdoa memohon Roh Kudus mengajar saya berdoa.

Saya mencoba mengkhususkan waktu untuk berdoa. Sebelum berdoa, saya menempatkan sebuah Alkitab (buku), sebuah buku tulis (jurnal rohani), sebuah pena dan sebotol minuman di meja. Saya mengambil posisi duduk yang nyaman dan berdiam diri serta mengatur pernapasan.

Saya mulai dengan memohon Roh Kudus mempersiapkan hati saya. “Tuhan, ini saya datang menghadap-Mu, mohon Engkau persiapkan diri saya untuk berdoa. Tuhan, ajarilah saya berdoa. Tuhan, tunjukkanlah dosaku dalam diriku yang tidak berkenan bagi-Mu.” Kemudian saya mengaku dosa dan memohon pengampunan berdasarkan dosa yang TUHAN tunjukkan kepada saya.

Saya belajar berdiam diri dalam keheningan. Saya belajar bersolitusi. Ketika saya mulai kehilangan konsentrasi, saya kembali memohon TUHAN mengarahkan hati dan pikiran saya kepada-Nya. Terkadang saya menggunakan alat bantu, yakni memegang kayu salib yang biasa saya kenakan. Ketika saya mengarahkan perhatian kepada TUHAN, saya seolah-olah melihat diri saya (dalam pikiran saya), tetapi bukan saya sekarang, melainkan saya dalam usia kanak-kanak bersujud di hadapan TUHAN. Momen tersebut bisa berhenti cukup lama dalam pikiran saya.

Ketika muncul dalam pikiran saya, hal-hal yang saya rasakan TUHAN ingin saya doakan, saya mendoakannya. Ketika muncul dalam pikiran saya bagian firman TUHAN tertentu, saya akan mencarinya dan membacanya. Ketika yang muncul berupa kata tertentu dalam Alkitab dan saya tidak ingat ada di bagian mana, maka saya mencarinya dengan Alkitab elektronik, membacanya dan merenungkannya. Kemudian saya menuliskannya di dalam jurnal rohani saya.

Proses dari mempersiapkan diri, berdoa, membaca Alkitab, merenungkannya dan menulis biasanya berdurasi 60-90 menit. Ketika saya pertama memulainya, saya hanya mencoba 5-10 menit setiap kalinya. Namun lama kelamaan saya merasa waktu tersebut terlalu singkat, sehingga waktunya bertambah secara sendirinya dari 15 menit, 20 menit, 30 menit dan seterusnya. Saya tidak memeriksa durasi ketika saya sedang berdoa. Saya pernah mengatur alarm 10-20 menit, saya malah dikagetkan dan terganggu oleh alarm karena doa saya belum selesai ketika alarm berbunyi. Perlu saya garisbawahi, “Jangan berfokus pada durasi, tetapi RELASI.”

Saya menemukan bahwa bagian yang paling indah dalam doa adalah menikmati kehadiran-Nya. Saya tidak perlu mengkhawatirkan dan memeras otak memikirkan apa yang harus saya katakan. Melainkan cukup berdiam diri menikmati kehadiran-Nya. Saya hanya berkata-kata seperlunya saja sehingga saya menyebut doa ini wordless prayer atau less words prayer (tanpa kata-kata atau sedikit kata-kata).

Misalnya, Saudara mengunjungi seorang bijak yang tinggal di atas gunung. Kemudian ketika berjumpa dengan dia, Saudara terus berbicara dan tidak memberi kesempatan bagi dia untuk berbicara. Setelah selesai berbicara, Saudara kembali turun dari gunung. Apakah perjumpaan tersebut memberkatimu? Inilah yang terjadi jika kita hanya berbicara dan tidak mendengarkan TUHAN di dalam doa kita.

Berdoa dengan mendengarkan suara TUHAN melalui firman-Nya atau yang saya sebut dengan Contemplative Prayer sangat menolong saya untuk menghubungkan hati saya kepada-Nya. Tentu ini bukan satu-satunya pola doa, masih banyak sekali pola doa lainnya yang dapat kita gunakan seperti berdoa sambil menyetir, jalan sore, memuji TUHAN, melayani sesama, mengucap syukur maupun menikmati alam ciptaan-Nya.

Pastor Lan Yong Xing