Search

Artikel Spiritualitas Perdamaian; Berdamai Dengan Sesama!

Spiritualitas Perdamaian; Berdamai Dengan Sesama!

Mazmur 34: 14-15

Saudara, apakah pernah memiliki pengalaman bahwa ketika melayani selalu dihindari oleh orang-orang tertentu karena pernah terjadi salah paham atau perbedaan pendapat sebelum-sebelumnya ataupun saudara yang pernah menghindari orang lain karena masalah yang sama tadi? Memang kita berpikir bahwa kita telah berdamai dengan orang tersebut, tetapi kok kita tetap saja menghindari, ada perasaan yang belum plong/legowo. Nah, kira-kira mengapa bisa terjadi demikian? Ya, karena sebenarnya kita belum benar-benar berdamai karena masalah yang terjadi sebelum-sebelumnya itu? karena perdamaian itu kan tidak bisa disamakan dengan melupakan. Seringkali jika terjadi konflik orang mau melupakan tetapi tidak memprosesnya, dan memang sekilas nampak di luar keadaan terkendali alias terlihat damai, tetapi sebenarnya itu belum dapat dikatakan benar-benar berdamai.

Mengenai perdamaian ini Paulus Sugeng Wijaya dalam salah satu tulisannya “Menuju Masyarakat Damai mengatakan bahwa “Perdamaian bukan sekedar aktifitas belaka, bukan juga hanya sebagai suatu situasi/kondisi absennya konflik, namun suatu sikap proaktif untuk menyelesaikan kendala-kendala yang menghambat terwujudnya perdamaian”. Seperti contoh yang saya katakan tadi, bahwa jika terjadi konflik dalam bentuk apa pun tidak bisa dibiarkan begitu saja, dilupakan dan dianggap bahwa telah usai, telah terjadi perdamaian. Itu seperti bom waktu—jika dibiarkan begitu terus menerus suatu saat akan meledak dengan dahsiat yang menhancurkan kehidupan kita sebagai pribadi maupun sebagai gereja.  

Oleh karena itu, dalam mengusahakan perdamaian itu diperlukan pendekatan spiritualitas, di mana seseorang harus berdamai dengan dirinya sendiri terlebih dahulu baru dapat berdamai dengan orang lain seperti yang dikatakan oleh Tuhan Yesus di dalam Matius 5: 24 tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu. Di sini Tuhan Yesus mengingatkan bahwa salah satu panggilan hidup orang percaya adalah membawa perdamaian. Tuhan yang kita sembah adalah raja damai (Syaloom), dan kita adalah yang diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya, mewarisi karakter-Nya.

Widjaya mengatakan bahwa Allah merupakan sumber damai (שָׁלֹום Syaloom) yang menghendaki kita untuk melaksanakannya bagi seluruh ciptaanNya, bagi sesama dan bahkan musuh kita.[1] Hal ini juga yang menjadi pesan bacaan kita hari ini dari  Mazmur 34: 14-15 yang mengatakan “Jagalah lidahmu terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan yang menipu; jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik, carilah perdamaian dan berusahalah mendapatkannya!”

Melalui firman-Nya Tuhan mengajak kita untuk menyuarakan kebaikan, berkata benar, mencari perdamaian dengan sesama dan berusaha mendapatkannya. Untuk benar-bernar berdamai, maka kita perlu melakukan latihan-latihan spiritualitas. Dosen saya Pak Stefanus Haryono dalam bukunya “Spiritualitas Perdamaian” mengusulkan beberapa cara praktis untuk latihan praktis ini. Berikut langkah-langkahnya yang bisa kita lakukan di dalam kehidupan kita sehari-hari:

  1. Mempersiapkan Diri dengan Hening dan Mengambil sikap berdoa, memohon pimpinan dan tuntunan Roh Kudus.
  2. Rekam Jejak  (mengambil buku dan alat tulis yang terlebih dahulu telah disediakan dan kemudian  melakukan journaling langkah-demi langkah latihan spiritual tersebut)
  • Menuliskan pengalaman-pengalaman kepahitan; entah sebagai korban kekerasan, trauma pada kasus tertentu (bisa diri sendiri maupun orang lain)
  • Menuliskan hal-hal yang menyakitkan, yang “belum selesai” dalam diri berkenaan dengan relasi, ataupun ketika berintraksi dengan orang lain, bahkan ketika tidak ada kedamaian dengan orang-orang terdekat maupun keluarga

3. Menjelajah ke dalam diri

  • Berdialog dengan dengan diri, bisa dengan mengajukan pertanyaan maupun dengan afirmasi. Misalnya siapakah saya? Mengapa saya susah sekali untuk berdamai dengan orang lain, mengapa saya memikirkan semuanya itu? Jika saya adalah anak-anak terang, berarti pasti saya bisa berdamai, karena anak terang berbuahkan kedamaian (Efesus 5: 8-9). Tidak lagi dikuasai kegelapan, menjadi pembawa damai kapan pun di saat seperti apa pun.
  • Menjelajah dan mengidentifikasi diri. Melihat ke dalam diri sumber-sumber ketidakdamaian itu. Apakah indikasi-indikasi yang menyebabkan tidak bisa berdamai dengan orang lain itu adalah faktor dari dalam diri saya atau dari luar. Jika dari dalam diri, apakah itu ciri-ciri ego, keakuan, kesombongan, tinggi hati, gagal paham saya, pembenaran diri, dan sebagainya. Jika ya-maka harus diselesaikan dari dalam, karena bisa merongrong diri, yang berakibat kepada kejahatan. Padahal jelas Mazmur 34: 14-15 berkata “Jagalah lidahmu  terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan yang menipu, jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik, carilah perdamaian dan berusahalah mendapatkannya!”.

4. Menemukan penghalang-penghalang

  • Olah pikir dan perasaan. Kembali bertanya kepada diri sendiri, apakah perasaan saya yang moody menyeret saya, sehingga saya tidak dapat berdamai dengan orang lain, lalu bagaimana dengan hati nurani? Apa kata hati nurani saya tentang itu. Lalu apakah pikiran (pengetahuan, doktrin dsb) yang harusnya menjadi penolong, malahan menghalangi saya untuk berdamai dengan sesama? Tuliskan lah semua itu, goreskan dengan jujur apa yang dipikirkan dan dirasakan.

5. Menjelajah keluar

  • Melihat pelaku ataupun sesama sebagai manusia yang utuh, bukan karena kejahatannya, bukan juga karena dia, tapi caranya. Tuliskanlah, apakah berkorelasi dengan Firman Tuhan, misalnya “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Matius 5:44), kita berdoa kepadanya sehingga secara perlahan akan mengikis kebencian dari dalam diri.
  • Mencoba melihat permasalahan dari sudut yang berbeda, bahkan dari sudut sesama tersebut. Apakah perbuatan (hal-hal yang membuat kita tidak bisa berdamai itu dilakukan dengan sengaja ataupun tidak?), cobalah menjembatani, bukan menyerang sebagai bentuk defensif.

6. Padang rumput yang segar

  • Baca ulanglah semua apa yang telah ditulis, lihatlah bagaimana kita telah melalui semua itu, lihatlah campur tangan yang menuntun, dan membimbing, menyediakan padang rumput yang segar (Mazmur 23:2)
  • Tuliskanlah juga berkat-berkat Tuhan dalam hidupmu, sadarilah itu, karena ternyata begitu banyak berkat-Nya yang dicurahkan kepadamu, bersyukurlah.
  • Semua yang telah di-journaling tersebut, ditutup dengan penulisan komitmen dan doa, memohon tuntunan dan kekuatan dari Roh Kudus.

Saudara, ini adalah langkah-langkah praktis untuk kita berdamai dengan diri sendiri dan orang lain, sehingga kita dapat benar-benar merasakan syalom sejati yang dari Tuhan dan memberitakan syalom dengan dengan penuh kesungguhan di dalam kehidupan kita sehari-hari. Kiranya Tuhan Sang Raja Syaloom menolong setiap kita.

Ev. Dwi Lina Agustine