Search

Artikel SIAPAKAH YANG KEHIDUPANNYA LEBIH BAIK?

A.     Pendahuluan

Seorang ibu memarahi anaknya karena mendapatkan nilai 4. Ironisnya, amarah sang ibu segera reda setelah mendengar bahwa meskipun mendapat angka 4, nilai anaknya merupakan tertinggi di kelas. Sejak sekolah dasar kita sudah dikondisikan untuk berkompetisi dengan yang lain. Belajar tidak lagi menjadi aktivitas free time (arti kata schola) bersama untuk menggali ilmu, mendalami hikmat dan mempelajari tentang kehidupan. Belajar telah menjadi upaya untuk berkompetisi mengalahkan orang lain. Dengan kata lain, sejak kecil kita dikondisikan untuk menganut budaya kompetitif. Ketika saya studi di Singapore, ada teman yang menyembunyikan buku perpustakaan di posisi yang hanya diketahui oleh dirinya sehingga tidak ada orang lain yang bisa mengakses buku tersebut. Hal ini ia lakukan supaya ia bisa mendapatkan nilai yang lebih baik dibanding teman-teman lain. Teman sekelas bukan lagi sebagai teman belajar tetapi sebagai kompetitor yang harus dikalahkan. Nilai yang lebih tinggi menjadi standar keberhasilan belajar meskipun dicapai dengan cara curang. Bukankah berlaku curang (menyontek) juga merupakan sebuah usaha? Bukankah dalam realita, semua orang juga berlaku curang? Orang yang mendapat nilai lebih tinggi (winner) dapat berjalan lebih tegak sedangkan orang yang nilainya lebih rendah adalah pecundang (loser) sehingga harus berjalan dengan tertunduk. Nilai yang tinggi berarti masa depan yang cemerlang sedangkan nilai yang rendah berarti masa depan yang suram. Tidak heran, anak-anak menjadi sangat tertekan apabila setelah belajar dengan susah payah dan tetap mendapatkan nilai jelek sedangkan teman-teman yang tidak belajar (cukup menyontek) mendapatkan nilai gemilang dan dipuji-puji guru.

Kehidupan yang dijalani di saat sekolah tidak dianggap sebagai realita. Sekolah hanya sebagai sebuah media untuk mempersiapkan masa depan. Masa depan merupakan realita ketika buku-buku ditutup, guru dilupakan dan teman-teman dikalahkan. Kehidupan “nyata” hanya terjadi di masa depan! Masa kini hanya merupakan persiapan untuk kehidupan “nyata” di masa mendatang. Sehingga tidak jarang anak-anak menatap keluar jendela saat di ruang kelas merindukan kehidupan nyata di masa depan. Betapa mereka mengharapkan masa sekolahan segera berakhir.

 

B.      Budaya Kompetitif: Meningkatkan Diri - Mengalahkan Orang Lain

Dalam budaya kompetitif, pencapaian seseorang berpotensi membuat seseorang menyombongkan diri dan memandang rendah orang-orang lain. Pepatah Tionghoa mengatakan, 狗眼看人低 gou yan kan ren di yang berarti mata anjing memandang rendah orang lain. Kepada orang-orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang, Yesus menceritakan perumpamaan tentang doa orang Farisi dan pemungut cukai.

 Dalam budaya kompetitif, rumput tetangga bisa lebih hijau atau lebih coklat. Jika lebih hijau, maka muncul perasaan iri hati dan jika lebih coklat maka muncul kesombongan.

Orang Farisi membandingkan dirinya dengan orang lain - “bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah, dan bukan seperti pemungut cukai ini”. Dalam tindakan merendahkan orang lain manusia sering memiliki pandangan yang bersifat generalisir dalam merendahkan orang lain dan meninggikan diri sendiri - pengusaha curang dan licik, polisi korup, orang gereja tertentu sesat, Islam teroris, LGBT masuk neraka, penderita HIV pendosa. Benar bahwa mereka bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah. Mereka adalah orang-orang yang setia mempertahankan hidup kudus dan menjaga kebenaran. Namun yang memaknai hidup mereka adalah merasa berharga dengan memandang rendah orang lain. Ingat bahwa, diri kita berharga tanpa harus memandang rendah orang lain. Kita tidak perlu menjadi berharga dengan mengalahkan orang lain.

Sebaliknya, pemungut cukai dalam doanya, tidak membandingkan dirinya dengan orang Farisi. Dia tidak mengatakan, “Oh, TUHAN saya tidak sebaik pemungut cukai yang rajin berdoa dan berpuasa, taat hukum Taurat, membela kebenaran, setia pada bangsanya”. Tidak, dia tidak membandingkan dirinya. Melainkan ia melihat ke dalam dirinya sendiri, dan menghadap TUHAN dengan tulus tanpa kepura-puraan.

Kita perlu menilik diri kita sendiri. Dan ketika kita menilik kehidupan kita, kita bagaikan membuka selapis demi selapis bagaikan “kue lapis ibu Wani”. Ketika kita membuka lapisan diri, di balik kompetisi terdapat ego, di balik ego terdapat kesombongan dan di balik kesombongan terdapat perasaan tidak berharga yang kuat. Perasaan tidak berharga yang sangat kental mendorong kita untuk membuktikan diri sehingga kita berkompetisi untuk mengalahkan orang lain. Introspeksi diri secara rutin di dalam TUHAN menolong kita untuk membangun gambar diri yang sehat. Hanya dengan gambar diri yang sehat, kita tidak membandingkan diri kita dengan orang lain. Perbandingan hanya menjadikan kita sombong atau rendah diri. Apabila seseorang memiliki gambar diri yang sehat, ia tidak akan memandang orang lain lebih tinggi dan merasa rendah diri atau memandang orang lain lebih rendah dan merasa sombong.

 

C. Allah Mengadili - Counter Budaya Kompetitif

Memandang rendah orang lain seringkali terjadi karena kita mengambil peran Allah, yakni menghakimi/mengadili. Allah adalah “Yosafat” artinya “Yahweh menghakimi / mengadili” (Yoel 3:2). Penghakiman merupakan hak TUHAN, jangan kita merampas hak TUHAN. Ketika kita menghakimi sesama, kita sedang melakukan ketidakadilan terhadap sesama dan terhadap TUHAN.

TUHAN berkata kepada Yeremia,

“Janganlah engkau berdoa untuk kebaikan bangsa ini!” (Yeremia 14:11)

 

Mengapa Allah sedemikian marah?

-      TUHAN sakit hati karena kejahatan yang dilakukan orang Israel dan orang Yehuda (Yeremia 32:32)

-      Tidak ada yang melakukan keadilan dan mencari kebenaran (Yeremia 5:1)

Maka, Lukas mengounter budaya kompetitif tersebut:

Diskriminasi hakim terhadap janda - janda mendapatkan keadilan (18:1-8)

Janda diperlakukan dengan tidak adil karena hakim menghiraukannya

Diskriminasi orang Farisi terhadap pemungut cukai - pemungut cukai mendapatkan keadilan (18:9-14).

Orang Farisi memperlakukan pemungut cukai dengan tidak adil dengan memandang rendah dirinya

Diskriminasi orang dewasa terhadap anak-anak - anak-anak mendapatkan keadilan (18:15-17)

Orang dewasa menghalangi anak-anak mendekati TUHAN

 

D. Menuju Kehidupan yang lebih baik

-      Pemungut cukai datang menghadap Allah dalam bait-Nya

-      Ia berdiri jauh dan tidak berani menengadah ke langit (merasa tidak layak, tidak pantas)

-      Ia memukul diri (penyesalan)

-      Ya berkata, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini!” (Luk. 18:13)

Apabila kita membandingkan diri kita dengan orang lain yang menurut kita lebih baik untuk hal tertentu. Maka beberapa kemungkinan terjadi, misalnya kita merasa iri hati dan membenci orang tersebut. Atau kita merasa kecil hati dan memandang diri sendiri tidak berharga. Atau kita mendekati orang tersebut dan berharap orang tersebut dapat menolong kita memperbaiki kualitas hidup kita. Namun apabila orang tersebut tidak berhasil menolong kita, ia mungkin memilih mundur dan persahabatan dengan kita pun berakhir. Kita tidak bisa mengandalkan orang lain untuk memperbaiki hidup kita. Satu-satunya andalan terbaik adalah TUHAN Sang Pencipta.

1.       Mengounter budaya kompetitif dengan budaya persahabatan (Kristus bersahabat dengan pemungut cukai, janda dan anak-anak).

2.       Tidak menjadi human-pleaser (2 Tim. 4:3-4) but God-pleaser.

Sejak kecil kita berkompetisi untuk menang demi menyenangkan orangtua kita. Kemudian kita berkompetisi untuk menang untuk menyenangkan bos kita. Dan setelah itu kita berkompetisi untuk menang untuk menyenangkan istri kita. Sebagai human-pleasar, nilai hidup kita akan berubah-ubah.

3.       Rindu diam di bait Allah dan mengandalkan kekuatan-Nya (Mzm. 84:5-6).

(suatu kali ketika menghadiri konven pemimpin regional di Singapore, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi St. Joseph Catheral di siang hari. Saya kaget, ternyata di siang hari, banyak juga yang sedang berdoa di dalam katedral). Ada anggota-anggota jemaat yang begitu serius dalam mempelajari firman Tuhan, setelah mendengarkan khotbah Minggu mereka masih meminta untuk dikirimkan naskah khotbah melalui email. Ada juga anggota jemaat yang menuliskan merenungkan khotbah dan menuangkan dalam tulisan pribadi.

 

E. Kesimpulan

Pada saat seorang pemuda sedang melakukan pendaftaran ulang masuk di Universitas Beijing. Ia kaget menemukan antriannya yang panjang dan ia merasa direpotkan dengan bagasi bawaannya. Ketika ia melihat seorang tua berjalan lewat, ia meminta bapak tersebut menjaga tas, mengira bapak ini adalah pekerja kebersihan di universitas. Setelah mengantri sekitar 30 menit, ia kembali kepada bapak ini untuk mengambil barang bawaannya. Dua hari kemudian, pada saat seminar pertama dimulai, anak muda ini dengan bangganya mengambil posisi tempat duduk terdepan. Pelajaran filsafat dimulai. Ketika sang profesor naik ke atas panggung untuk mulai mengajar, anak muda ini merasa kaget dan sangat malu, ternyata bapak yang ia minta untuk menjaga barang bawaannya adalah seorang profesor di universitas tersebut.

“Bukan perbandingan yang memberikan kehidupan yang baik tetapi kedekatan dengan Allah”.

“You have to be willing to live your loneliness, your incompleteness, you lack of total incarnation fearlessly, and trust that God will give you the people to keep showing you the truth of who you are” (Nouwen - The Inner Voice of Love, 54).

Ps. Lan Yong Xing