Search

Artikel Que Sera Sera? Friendship in the Fragility of Life

Que Sera Sera?

Friendship in the Fragility of Life

Kekuatiran terhadap hidup ini tidak terlepas dari yang namanya “ketidakpastian”. Di saat masih kecil saya diajarkan sebuah lagu yang berbunyi,

“When I was just a little girl, I asked my mother, what will I be.

Will I be pretty? Will I be rich? Here’s what she said to me

Que sera, sera

Whatever will be, will be

The future’s not ours to see

Que sera, sera

What will be, will be

Lagu ini menyanyikan bahwa kita hidup ini adalah sebuah ketidakpastian. Kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada masa depan kita. Benar bahwa ada banyak hal yang berada di luar pengetahuan kita dan inilah misteri kehidupan. Ketika seorang rabi, seorang Farisi bernama Nikodemus bertanya kepada Yesus mengenai kehidupan, Yesus mengatakan, “Angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari Roh” (Yoh. 3:8). Perkataan Yesus di sini kembali mengingatkan bahwa bahkan orang-orang yang dipenuhi dan dipimpin oleh Roh Kudus tidak mengetahui ke mana mereka akan pergi. Begitu juga dengan Abraham yang dipanggil untuk “Pergi dari negerimu…ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu” (Kej. 12:1) namun TUHAN tidak beritahu Abraham ke mana ia harus pergi. Kita merencanakan tetapi TUHAN yang menentukan. “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya” (Amsal 16:9). Sejujurnya, dalam hidup ini kita tidak sepenuhnya mengetahui arah hidup kita.

Namun ada satu hal yang sangat penting, bahwa hidup ini merupakan sebuah proses transformasi. Transformasi dari pengasingan (Kej. 3:23) menjadi persahabatan dengan Allah (Yoh. 15:15). Dari permusuhan (Kej. 4:9) menjadi persaudaraan (1 Yoh. 4:20), dari keterlantaran atau pelarian (Kej. 4:12) menjadi anak-anak Allah (Ef. 1:5). Jean Vanier mengatakan,

“Transformation has to do with the way the walls separating us from others and from our deepest self begin to disapper. Between all of us fragile human beings stand walls built on loneliness and the absence of God, walls built on fear - fear that becomes depression or a compulsion to prove that we are special” (Location 167).

Transformasi merupakan kepastian dan memberikan arah di tengah ketidakpastian. Vanier mengatakan, “Transformation gives us the audacity to advance along a road of unknowing” (Location 175). Ketika kita berfokus pada transformasi hidup, maka kita bisa menyadari apa yang seharusnya menjadi prioritas dalam hidup kita. Ada banyak hal yang berebutan menjadi prioritas hidup kita dan kita disibukkan dengan banyak prioritas. Yesus Kristus menceritakan bahwa orang-orang yang terintegrasi ke dalam masyarakat cenderung adalah orang-orang yang sibuk dan tidak mempunyai banyak waktu (Mat. 22; Luk. 14). Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai waktu untuk perjamuan kasih. Maka Raja memutuskan untuk melupakan mereka dan mengundang orang-orang yang ditolak, orang-orang yang rapuh ke dalam perjamuan kasih - miskin, cacat, lumpuh, buta. Hal ini bertentangan dengan pandangan Aristoteles yang menegaskan bahwa persahabatan adalah “sharing among equals” (Vanier, Loc 249).

Mengapa mengundang orang-orang lemah? Sebab mereka tidak sibuk, mereka memiliki ruang untuk transformasi hidup. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai waktu. Mereka tidak sibuk mencari pengakuan (recognition), kuasa (power), keistimewaan (prestige) maupun menjadi penting (self-importance). Melainkan mereka merupakan orang-orang yang merindukan persahabatan yang otentik dan penuh cinta kasih (Vanier, Location 206). Di dalam diri kita yang terdalam, kita merindukan kasih sayang dan perhatian. Kita haus akan kasih sayang dan perhatian sebab ada perasaan kesepian maupun penolakan yang kuat baik kita alami secara sadar maupun di bawah sadar. Meskipun rapuh, hidup ini merupakan sebuah anugerah dari Sang Pencipta. Kehadiran orang-orang lumpuh (rapuh) di tengah-tengah kehidupan kita merupakan pelajaran untuk mengasihi.

Sebenarnya, yang menjadi prioritas hidup ini atau panggilan utama hidup ini adalah hidup kudus. Petrus mengatakan, “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (1 Pet. 2:0; Kel. 19:5-6). Yang menjadi prioritas TUHAN bagi hidup kita bukanlah memberikan kehidupan yang nyaman, dan menikmati berbagai harta benda. TUHAN lebih mengutamakan transformasi hidup di dalam diri kita. TUHAN ingin kita menjadi sahabat-Nya, dan untuk menjadi sahabat-Nya kita dituntut untuk menjadi sahabat bagi sesama. Nah, persahabatan di tengah kerapuhan kehidupan merupakan sebuah proses transformasi yang mengubah hidup kita. Kualitas hidup kita lahir melalui persahabatan dengan sesama.

Referensi

Hauerwas, Stanley & Vanier, Jean. 2008. Living Gently in a Violent World: The Prophetic Witness of Weakness. Illinois: Kindle Electronic Edition.

Ps. Lan Yong Xing