Artikel Pertobatan Sejati
Hab 1:1-4, 2:1-4; Mzm 119:137-144; 2 Tes 1:1-4, 11-12; Luk 19:1-10
Engkoh Aboen adalah seorang pengusaha sukses yang kaya raya. Ia memiliki ribuan karyawan yang bekerja padanya. Dibalik kesuksesannya, ia adalah seorang yang temperamental dan suka berkata-kata kasar kepada orang-orang yang bekerja padanya. Di rumah, ia juga suka berkata-kata kasar kalau sedang kesal terhadap istri dan anak-anaknya. Dari segi iman, ia bukanlah seorang yang percaya (baca: Kristen).
Suatu kali ada seorang pendeta berkunjung ke rumahnya dan memberitakan Injil kepadanya. Pendeta itu menawarkan jalan keselamatan di dalam Yesus kepada engkoh Aboen. “Terimalah Yesus sebagai Juruselamat engkoh secara pribadi, maka engkoh akan selamat”, demikian pendeta itu berkata. Akhirnya engkoh Aboen bersedia menerima Yesus sebagai Juruselamatnya secara pribadi. Namun setelah itu, sehari-hari ia tetap saja suka memaki-maki karyawannya, juga istri dan anak-anaknya!
Pertobatan engkoh Aboen ini bisa dikatakan merupakan pertobatan yang parsial, tidak menyeluruh. Engkoh Aboen berpandangan bahwa hanya dengan menerima Yesus sebagai Juruselamatnya secara pribadi itu sudah cukup. Titik. Padahal, pertobatan sejati tidak hanya menyangkut pengakuan di dalam hati dan mulut, melainkan juga harus diwujudkan secara nyata dalam hidup sehari-hari!
Apa yang terjadi dengan Zakheus di dalam Injil Lukas 19:1-10 bisa dikatakan sebuah pertobatan sejati. Sebelum membahas mengenai pertobatan sejati pada diri Zakheus, kita akan melihat siapakah Zakheus dan orang macam apakah ia sebelum berjumpa dengan Yesus? Zakheus adalah seorang kepala pemungut cukai. Arti nama Zakheus sendiri dalam bahasa Yunani: Zakchaios bisa diartikan murni, tidak bercampur, bersih secara moral. Namun, arti nama ini bagi orang-orang Yahudi menjadi sesuatu yang ironis. Mengapa? Sebab mereka memandang profesi pemungut cukai sebagai pekerjaan yang berdosa. Pemungut cukai dipandang seorang yang pekerjaannya memeras rakyat dengan memungut pajak secara berlebihan serta mendukung pemerintah penjajah saat itu, yakni Romawi. Bahkan, ada seorang Farisi yang berdoa: “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini” (Luk 18:11).
Sebagai seorang pemungut cukai, Zakheus tentu bukanlah orang sembarangan. Seorang pemungut cukai mestilah seorang yang cakap membaca, menulis, dan berhitung dengan cermat. Selain itu, ia juga harus mampu bergaul luas, baik dengan kalangan pejabat maupun rakyat jelata. Zakheus sendiri digambarkan sebagai seorang yang kaya (Luk 19:2). Namun, ia biasa dikucilkan dan dihindari oleh orang-orang Yahudi yang memandangnya sebagai orang berdosa. Ia kaya, tetapi dihina dan dibenci. Dalam situasi demikian, sangat mungkin Zakheus merasa kesepian dan gelisah dengan cara hidup yang ia jalani. Suatu kali, Yesus sedang berkunjung ke kota Yerikho, tempatnya bekerja sebagai kepala pemungut cukai. Agaknya, Zakheus sebelumnya telah mendengar kabar mengenai Yesus yang dikenal sebagai sahabat orang-orang berdosa. Yesus yang ia dengar biasa menerima para pemungut cukai dan orang-orang berdosa untuk mendengarkan pengajaran-Nya (bnd. Luk 15:1-2). Zakheus pun ingin melihat sendiri secara langsung mengenai siapakah dan orang seperti apakah Yesus itu.
Niat Zakheus untuk melihat Yesus ternyata mendapat kendala. Kendala pertama, rombongan orang banyak yang ada di sekitar Yesus. Kendala kedua, dari segi fisik tubuh Zakheus pendek, sehingga ia tidak dapat melihat Yesus yang terhalang pandangannya oleh rombongan orang banyak di sekitar Yesus. Zakheus tidak kehabisan akal. Ia berlari mendahului orang banyak dan memanjat pohon ara untuk melihat Yesus. Mungkin waktu itu Yesus baru sampai di pinggiran kota di mana biasanya terdapat banyak pohon ara. Pohon ara sendiri merupakan tanaman yang banyak terdapat di Israel. Daunnya rimbun, batangnya pendek dan bercabang-cabang melebar ke segala arah, sehingga dapat dipanjat dengan mudah.
Zakheus mengira dapat melihat Yesus secara diam-diam. Tetapi ternyata Yesus tahu, dan Ia memanggil Zakheus. Kita bisa membayangkan orang-orang Yahudi yang melihat Zakheus waktu itu memandangi Zakheus di atas pohon sambil mengejeknya. Tetapi Yesus berbeda. Sama sekali tidak ada nada ejekan dalam perkataan-Nya atau pun tatapan mata penuh kebencian dan penghakiman pada diri Yesus. Yesus hanya berkata bahwa hari itu Ia harus menumpang di rumah Zakheus. Menumpang di rumah berarti bermalam, makan, minum, dan tidur di sana. Makan sendiri merupakan simbol persekutuan yang mendalam bagi orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi yang saleh tidak mau menumpang di rumah pemungut cukai yang mereka pandang berdosa itu. Keputusan Yesus untuk menumpang di rumah seorang pemungut cukai sendiri menimbulkan sungut-sungut dari pihak orang-orang Yahudi (Luk 19:7). Mereka tidak bisa menerima Yesus yang adalah seorang rabi terhormat menumpang di rumah seorang yang berdosa layaknya Zakheus, pemungut cukai. Bagaimanapun, Yesus merasa harus menumpang di rumah Zakheus. Kata ‘harus’ yang digunakan Injil Lukas di sini berarti ‘sesuai dengan rencana Allah dan kehendak-Nya’ (bnd. Lukas 9:22; 13:33; 24:26).
Penerimaan Yesus atas diri Zakheus apa adanya dan jauh dari penghakiman ternyata menggerakkan hati Zakheus untuk melakukan pertobatan yang drastis. Zakheus digambarkan segera turun dari pohon dan menerima Yesus di rumahnya dengan sukacita (Luk 19:6). Zakheus berjanji memberikan separuh dari hartanya untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin. Sementara itu, bila ia pernah memeras seseorang, akan dikembalikannya empat kali lipat (ay. 8). Jumlah ini jauh lebih besar daripada apa yang dituntut di dalam Hukum Taurat, yakni hanya seratus dua puluh persen mengenai ganti rugi semua yang diperoleh seseorang secara tidak jujur dalam rangka pengampunan dosa melalui perantaraan seorang imam dalam bentuk kurban penebus salah (Imamat 6:5). Zakheus tidak hanya membayar seratus dua puluh persen, melainkan empat ratus persen dari jumlah uang yang diperolehnya secara tidak jujur! Ini berarti Zakheus bertindak melampaui aturan dalam hukum keagamaan Yahudi.
Zakheus memang tidak beralih dari profesinya sebagai pemungut cukai, namun ia kini menyadari hal yang paling bernilai dalam hidupnya bukanlah materi, melainkan keselamatan di dalam Kristus. Ia pun menjadi seorang kepala pemungut cukai yang bersikap adil, wajar, dan tidak memeras rakyat lagi. Zakheus mampu melepaskan dirinya dari keterikatan akan kekayaannya untuk menjadi warga Kerajaan Allah (bnd. Luk 18:24-27). Perubahan hidup pada diri Zakheus disebut Yesus sebagai keselamatan dan pemulihan statusnya sebagai anak (keturunan) Abraham (Luk 19:9). Keselamatan yang Yesus sebut di sini bukan sekedar perkara batiniah (dalam hati) belaka, melainkan tindakan konkret berupa perubahan hidup yang menyeluruh. Bila orientasi Zakheus semula adalah kekayaan dan dirinya sendiri, kini ia mengalami perubahan yang drastis. Orientasinya kini adalah Kerajaan Allah dan belas kasih kepada sesamanya, terutama mereka yang miskin dan menderita. Orang-orang seperti Zakheus inilah yang dicari dan diselamatkan oleh Yesus.
Perikop Injil Lukas 19:1-10 ditutup dengan pernyataan Yesus, “Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang.” Hilang berarti berada di tempat yang keliru atau tidak berada pada tempat yang semestinya, jadi harus dikembalikan pada tempat yang semestinya. Hilang juga berarti kondisi jauh dari Allah. Bila yang hilang telah ditemukan, maka berarti sudah menempati kembali tempatnya yang semula sebagai anak yang taat di dalam rumah dan keluarga Bapanya.
Seorang kawan pernah mengatakan bahwa semenjak ia bertobat dan menjadi Kristen, ia mengalami karya Roh Kudus yang mengubah perasaan, hati, pikiran, sikap, emosi dan perilakunya. Semula ia adalah seorang yang sukar mengampuni. Hatinya penuh keinginan untuk membalas perbuatan jahat orang-orang yang pernah melukai atau merugikan dirinya. Segala cara akan ia lakukan demi memuluskan niat dan keinginannya, sekalipun untuk itu ada orang-orang yang akan terlukai dan menjadi korban.
Setelah menjadi Kristen, keinginan untuk membalaskan perbuatan jahat orang-orang yang pernah menyakiti dirinya sirna. Ia kini bisa mengampuni, mendoakan dan menaruh belas kasih kepada mereka. Bukan hanya itu, orientasi hidupnya juga berubah. Bila dahulu ia hanya mengejar materi dan kesenangan hidup bagi dirinya sendiri saja, kini ia aktif melayani di salah satu gereja dengan rajin. Sebulan sekali ia akan meluangkan waktunya untuk melihat keadaan mamanya yang sudah lanjut usia. Walaupun untuk itu ia harus menempuh perjalanan menggunakan kereta api selama delapan jam! Mamanya adalah seorang yang belum percaya (baca: Kristen), tetapi ia begitu menyayanginya.
Setiap orang dipanggil untuk mewujudkan pertobatan dalam laku hidup yang nyata. Perlakuan seseorang terhadap sesamanya dengan hati yang penuh cinta kasih merupakan wujud konkret dari sebuah pertobatan yang sejati. Amin.
Ps. Markus Hadinata