Artikel Persahabatan Yang Autentik
Setelah tema “Persahabatan Yang Menyenangkan” untuk tahun pelayanan 2016-2017, kini Majelis Jemaat menyongsong tema “Persahabatan Yang Autentik” untuk tahun pelayanan 2017-2018. Mengapa persahabatan? Persahabatan merupakan hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia oleh sebab itu, sejak semula Tuhan mengatakan, “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja” (Kej. 2:18). Persahabatan merupakan ekspresi shalom, yakni persahabatan yang akrab dengan Allah, dengan diri sendiri, dengan sesama manusia dan dengan sesama makhluk hidup. Persahabatan merupakan bagian penting shalom karena di dalam persahabatan mencakup relasi yang benar, autentik, harmonis, menyenangkan dan saling membangun. Persahabatan menjadi tidak menyenangkan apabila tidak lagi autentik.
“karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran, sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang TULUS IKHLAS, hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu” (1 Ptr. 1:22).
menyucikan (hagnizo) mu (humon) diri (psuche) oleh ketaatan (hupakoe) kepada kebenaran (aletheia) melalui Roh Kudus (pneuma).
Saya percaya setiap kita merasa tidak mampu hidup autentik. Ternyata, bukan mengandalkan kemampuan diri sendiri melainkan pada pertolongan Roh Kudus kita menaati kebenaran sehingga jiwa kita disucikan.
Hidup autentik adalah mengasihi dengan kasih persaudaraan / persahabatan (φιλαδελφία: filadelfia) dengan tulus ikhlas (ἀνυπόκριτος: anupokritos) atau tidak munafik (hipokritis), sehingga kita bersungguh-sungguh (ἐκτενῶς: ektenos: dengan intens) saling mengasihi (ἀγαπάω: agapao) dengan segenap (καθαρός: katharos: murni/pure) hati (καρδία: kardia).
Kata tulus dalam bahasa Inggris “sincere” berasal dari kata “sine cere” yang berarti “tanpa lilin”. Biasanya pedagang porselin menutupi produknya yang retak dengan lilin sehingga garis retakan tidak lagi kelihatan. Sedangkan pedagang yang jujur memberi label “sine cere” (tanpa lilin) yakni membiarkan garis retakan tetap terlihat, tanpa ditutupi. Yang menarik adalah kata “munafik” berasal dari kata “hipokrisis” yang berarti “berakting”. Seorang munafik adalah seorang yang berpura-pura yakni berakting agar ia tampak menakjubkan. Apabila kita selalu berakting (tidak menjadi diri sendiri) maka kita adalah seorang “hipokrisis” yakni seorang yang tidak autentik.
Benar bahwa tidak mudah untuk tidak menutupi kelemahan dan kerapuhan diri sehingga kita cenderung melapisi retakan diri dengan “lilin” yakni apa yang kita miliki (having) dan kerjakan (doing) dan berakting. Bukankah ini yang dilakukan oleh Adam dan Hawa saat mereka jatuh ke dalam dosa? Reaksi mereka adalah takut, telanjang dan bersembunyi (Kej. 3:10). Karena TAKUT merasa tidak berharga, lemah dan rapuh (TELANJANG) kita BERSEMBUNYI di balik prestasi, pencapaian, kepintaran, dan pertunjukkan. Jujur saja, dibutuhkan kekuatan, rasa aman dan pribadi yang stabil untuk dapat hidup autentik. Seorang yang autentik menganut prinsip, “This is who I am. This is everything I am and this is all I am - nothing more, nothing less, nothing better, nothing worse” (Moody, 15).
Untuk menjalin persahabatan yang menyenangkan, selain menerima diri kita dan bersikap rendah hati terhadap diri sendiri, Petrus mengajak kita untuk membuang beberapa penghalang persahabatan yang autentik. Melalui firman (λόγος: logos) Allah (θεός: teos), kita dilahirkan kembali (ἀναγεννάω: anagennao), oleh karena itu buanglah segala kejahatan (κακία: kakia), tipu muslihat, (δόλος: jerat), kemunafikan (ὑπόκρισις: hupokrisis; berakting), kedengkian (φθόνος: pthonos: keinginan jahat), fitnah (καταλαλία: katalalia; illspeaking).
Setiap kita mengetahui bahwa hal-hal di atas sangat merusak bagi sebuah komunitas. Bersikap jahat, kasar, tidak menghargai sesama, menjerat dengan strategi, menjebak dengan kelicikan, saling menjatuhkan, berpura-pura, dengki, berkeinginan jahat, berkata-kata fitnah, bergosip. Hal-hal tersebut merusak kepercayaan (trust). Ini semua merupakan musuh terbesar persahabatan yang autentik baik dalam keluarga, rekan sepelayanan, kolega, maupun di masyarakat.
Kehidupan yang autentik membuat diri kita bertumbuh. Pertumbuhan terjadi melalui kerinduan rohani (spiritual longing) seperti seorang bayi yang baru lahir merindukan susu yang murni. Setelah mengecap (makan) kebaikan Tuhan kita akan BERTUMBUH.
Kiranya melalui kehidupan yang autentik (tidak akting) kita dipergunakan sebagai BATU HIDUP untuk pembangunan suatu RUMAH ROHANI (1 Pet. 2:5). Dengan menjadi diri yang autentik, kita membuka diri bagi anugerah Allah (gratia), dan percaya (fide) kepada dia dengan tulus untuk diubahkan oleh firman-Nya (scriptura). Mari belajar menjalin Persahabatan yang Autentik. Kiranya Tuhan menolong kita!
“To build and maintain deep, substantive relationships, people must know themselves, be honest about themselves, and share their true selves with others“ (Van Moody)
Ps. Lan Yong Xing