Artikel MY LIFE IS LARGER THAN I IMAGINE!
Pendahuluan
Seseorang bertanya kepada temannya yang sedang menunggang kuda, “Kamu lagi mau pergi ke mana?” Temannya yang menunggang kuda menjawab, “Tidak tahu, terserah kuda saya antar saya ke mana?” Saya percaya pada umumnya, kita ingin memegang kendali atas kehidupan kita sendiri. Dalam hidup ini, kita harus bermitra dengan Allah, ada yang menjadi bagian kita di mana kita belajar, mempersiapkan diri, dan membekali diri. Dan ada bagian Allah di mana Ia memimpin, mengarahkan dan memelihara hidup kita.
Mengapa kita ingin memegang kendali hidup kita?
Kita merasa aman apabila kita yang memegang kendali kehidupan kita sendiri karena kita merasa hidup kita lebih terjamin. Oleh sebab itu, kita berjuang keras untuk mengamankan hidup kita. Karena kita takut pada ketidakpastian, kita takut pada samudera yang luas, kita takut pada hal-hal yang tersembunyi, yang bersifat transenden dan tidak dimengerti oleh rasionalitas kita.
Sebenarnya, ketika kita berupaya keras mengamankan hidup kita, kehidupan kita kehilangan bagian yang terutama yakni bagian yang TUHAN kerjakan bagi kita. Apa yang TUHAN kerjakan bagi kita melampaui apa yang dapat kita lakukan sendiri. Kita tidak benar-benar beriman pada-Nya bahwa Dia memimpin dan memelihara hidup kita (providensi Allah). Firman Allah mengatakan:
Yohanes 3:8 - Angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau, mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari Roh.
Pandangan Yusuf tentang kepahitan hidupnya
Yusuf, termasuk tokok dalam kitab Kejadian yang sangat saya sukai. Yusuf adalah anak kesayangan ayahnya. Mengapa ia dibenci kakak-kakaknya? Pertama, karena kasih sayang sang ayah yang mengistimewakan Yusuf - jubah maha indah. Dan yang kedua, dikarenakan sikap Yusuf yang adalah pengadu - suka melaporkan perbuatan kakak-kakaknya kepada ayahnya. Ditambah cerita mimpinya yang meninggikan dirinya dan merendahkan kakak-kakaknya termasuk ayah-ibu mereka. Sehingga kakak-kakaknya membenci (Kej. 37:4, 8) dan iri hati (Kej. 37:11) padanya. Kebencian mereka mencapai titik untuk membunuhnya, namun Ruben berusaha menyelamatkannya (37:21-22), dan Yehuda mengusulkan untuk menjualnya demi menyelamatkannya (Kej. 37:26). Yusuf pasti sangat terluka dan menangis selama perjalanan ia dijual karena ia harus berpisah dari ayah-ibunya. Dia harus bekerja keras sebagai seorang budak di tanah orang asing. Dia dibawa ke tempat yang budayanya asing baginya.
Setelah bertahun-tahun lamanya, melalui perjalanan yang sangat panjang, Yusuf menjadi orang nomor dua di Mesir. Saudara-saudaranya datang untuk berbelanja makanan, Yusuf mengenal mereka tetapi mereka tidak mengenal Yusuf (Kej. 42:8). Setelah Yusuf memperkenalkan dirinya kepada saudara-saudaranya, mereka menjadi takut dan gemetar (Kej. 45:3). Mereka berpikir dalam hatinya bahwa mereka telah melakukan kejahatan besar karena kebencian mereka terhadap Yusuf. Perasaan bersalah ini sangat kuat (Kej. 42:22, 28).
Namun Yusuf menenangkan mereka dengan berkata, “Janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku di sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu” (Kej. 45:5). Yusuf memahami bahwa segala sesuatu yang ia alami dalam hidupnya karena TUHAN ingin dia memelihara “Kehidupan”. Saudara, TUHAN dalam rancangan-Nya yang penuh kasih sayang, ingin kita memelihara “Kehidupan” (the good life and flourishing life). TUHAN ingin agar kehidupan kita menjadi berkat bagi sesama.
Kehidupan kita tidak sekadar kisah hidup kita sendiri (our story). Kisah hidup kita tidak terpisah dari Kisah TUHAN (His Story). Apabila Yusuf memandang kisah hidupnya dengan sempit maka ia akan merasa kesal, marah, pahit dan dendam. Dia akan mengambil kesempatan untuk menghabisi saudara-saudaranya yang ingin membunuh dia. Dia tidak mungkin dapat melupakan kekerasan saudara-saudaranya - wajah mereka saat ia hampir mati dibunuh mereka dan saat dia dijual dengan paksa. Dia pasti mau menuntut keadilan dan melakukan pembalasan.
Namun ia tidak melakukannya. Dia melihat sisi misteri dalam kehidupan. Dia melihat sisi kehidupan yang tidak dapat ia kendalikan. Dia melihat rancangan Allah pada dirinya di balik penderitaan yang harus ia derita. IA MELIHAT HIDUPNYA LEBIH BESAR DARIPADA YANG DAPAT IA BAYANGKAN. Dengan demikian, ia mematahkan lingkaran jahat, rasa takut, kebencian dan kekerasan.
Apa yang membuat Yusuf dapat mengampuni saudara-saudaranya yang ingin membunuh dia dan kemudian menjual dia? Karena dia tidak melihat hidupnya sebagai “petty life” yakni kehidupan yang kecil, dan tidak berarti. Yusuf mengatakan, “BUKAN KAMU YANG MENYURUH AKU KE SINI, MELAINKAN ALLAH” (Kej. 45:5, 8). Yusuf memandang sejarah kehidupannya sebagai bagian dari ranjangan Allah. Yusuf tidak menyalahkan saudara-saudaranya atas penderitaan yang ia derita. Yusuf juga tidak menyalahkan TUHAN atas penderitaan yang harus ia terima. Yusuf menerima otoritas TUHAN atas hidupnya dan memahami bahwa di balik seluruh kepahitan hidupnya ada maksud yang indah, yang jauh melampaui pemahamannya. Sebab Yesus memahami bahwa hidupnya bertujuan untuk memelihara kehidupan.
Ingat bahwa,
Bukan manusia yang membekali kita tetapi Allah!
Bukan manusia yang memproses hidup kita tetapi Allah!
Bukan manusia yang menentukan hidup kita tetapi Allah!
Ketika kita memandang kehidupan kita jauh lebih besar dari rasa sakit, kepahitan, kekesalan, kekecewaan, maka kita merangkul kehidupan sebagai hadiah pemberian Allah dan menemukan bahwa My life is larger than I imagine! Kita akan dikejutkan oleh karya Allah di dalam diri kita dan melalui diri kita.
Pertemuan Ben-Hur dengan Yesus dalam film yang disutradarai oleh Timur Bekmambetov mengubah hidupnya. Dirinya dipenuhi dengan kebencian karena saudaranya, demi karier di dalam militer Romawi (di bawah Pontius Pilatus), membuang dirinya sebagai budak dan memenjarakan ibu dan adik perempuannya. Namun perjumpaan Ben-Hur dengan Yesus mengubah hidupnya. Ia mendengarkan perkataan Yesus, memperhatikan perbuatan dan kehidupan Yesus. Perjumpaan dengan Yesus mentransformasi hidupnya dan ia kemudian berekonsiliasi dengan saudaranya yang sangat ia benci.
POINT TO POINDER “When we live according to our fears and our hates, our lives become small and defensive, lacking the deep, joyous generosity of God” - Walter Brueggemann (Location 211) “Life with God is much, much larger, shattering our little categories of control, permitting us to say that God’s purposes led us well beyond ourselves to give and to forgive, to create life we would not have imagined” (Brueggemman, Location 211). |
Ps. Lan Yong Xing