Search

Artikel MENJADI SAHABAT DI DALAM DUNIA YANG RAPUH

Kita adalah manusia yang rapuh dalam dunia yang rapuh. Keegoisan, kerakusan, ketakutan, kesepian, kebencian dalam diri manusia menabur kebencian, menyebar kecurigaan, melahirkan kekerasan, meningkatkan penindasan. Kita menyembunyikan kelemahan dan  membungkus kerapuhan dengan tampil hebat atau tampil baik (looks good) alias pencitraan. Jean Vanier dalam bukunya Living Gently in a Violent World mengatakan “We are afraid of showing weakness. We are afraid of not succeeding. Deep inside we are afraid of not being recognized. So we pretend we are the best. We hide behind power. We hide behind all sorts of things”  (Hauerwas & Vanier 2008, Loc 480 Kindle).

Menyadari ironi kehidupan manusia yang penuh perjuangan dalam mengejar ambisi namun sia-sia, Hawa menamakan anak-anaknya, Kain (קַיִן  mendapatkan) dan Habel (הֶבֶל sia-sia). Bagi Kain, hidup ini adalah mengejar dan meraih ambisi. Apabila ada yang lebih baik, lebih berkemampuan, lebih berhasil, lebih dicintai, lebih populer, lebih berprestasi maka orang tersebut harus dikalahkan, ditaklukkan atau disingkirkan. Kain dikuasai amarah karena merasa hidupnya menjadi tidak berharga karena persembahan Habel berkenan di hati Tuhan. Kain tidak mengintrospeksi diri mengapa persembahannya tidak diterima Tuhan, hatinya telah dikuasai kebencian untuk melenyapkan Habel, adiknya. 

Saudara, apa yang membuat seseorang marah menunjukkan siapa orang tersebut. Sehingga untuk mengenal siapa diri kita, cukup memperhatikan apa yang membuat kita marah. Setelah Kain membunuh Habel, TUHAN bertanya kepada Kain, “Dimanakah Habel, adikmu?” Kain menjawab, “Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku? Kain tidak peduli pada Habel. Kain tidak merasa bersalah bahwa dia telah membunuh Habel, adiknya. Akal sehatnya telah mati terbunuh oleh amarahnya. Anger is the anesthetic of the mind, kata C. S. Lewis.

Nah, untuk menjadi sahabat di dalam dunia yang rapuh, kehidupan Set dapat menjadi inspirasi bagi kita. Set (שֵׁת benih yang lain) mengimplikasikan bahwa dia tidak sama dengan Kain. Ia tidak menganut filosofi kehidupan Kain. Set menamakan anaknya, Enos (lemah, rapuh). Set diperkenalkan sebagai orang yang memiliki gambar dan rupa ayahnya (Kej. 5:3) yang menunjukkan kepada gambar dan rupa Allah dalam diri manusia (Kej. 5:1). Berbeda dengan keturunan Kain yang digambarkan sebagai orang-orang hebat, sukses, sebagai peraih, pencapai seperti Lamekh yang memiliki dua istri cantik (Kej. 4:19), Tubal-Kain - bapa semua tukang tembaga dan tukang besi (Kej. 4:22), keturunan Set digambarkan sebagai orang yang memiliki keteduhan (tranquility) dan peristirahatan (Nuh: rest) yakni Henokh yang bersahabat dengan Tuhan (Kej. 5:22) dan Nuh (Kej. 5:32). Dan terlebih lagi, setelah kelahiran “kerapuhan” (Enos) manusia mulai memanggil nama TUHAN (Kej. 4:26).

Keberhargaan diri manusia (humanworth) bukanlah hasil pencapaian melainkan merupakan anugerah TUHAN (inherent worth). Memanggil nama TUHAN (bersandar pada TUHAN) dan Persahabatan-Nya di dalam kesederhaan, kerendahan hati, ketulusan, dan cinta kasih merupakan dasar untuk mentransformasi dunia yang rapuh yang membentengi diri karena ketakutan, kecurigaan, kesepian dan keegoisan. Jean Vanier mengingatkan, 

Transformation has to do with the way the walls separating us from others and from our deepest self begin to disappear. Between all of us fragile human beings stand walls built on loneliness and the absence of God, walls built on fear - fear that becomes depression or a compulsion to prove that we are special (Vanier 2008, Loc. 169 Kindle).

Ps. Lan Yong Xing