Artikel Jiwaku Memuliakan TUHAN, Hatiku Bergembira karena Allah
Lukas 1: 46-56
Dua tahun yang lalu dalam sebuah renungan di salah satu GKJW di Jawa Timur saya bertanya kepada jemaat “Mengapa orang putus cinta?”. Seorang anak muda langsung nyeletuk, katanya, “ya karena sudah tidak suka!” Kemudian saya bertanya kembali “lah, kenapa tidak suka lagi padahal dulu kan suka!”. Jawab anak muda itu “ya, mungkin karena perubahan rupa dan sifat kali ya, katanya!”. Kemudian saya mengganti pertanyaan “jika demikian mengapa seseorang bisa putus asa, stress, penuh dengan permasalahan dan pergumulan?”, dan berbagai jawaban pun bermunculan. Namun, terdapat salah satu jawaban yang sangat menarik, yang memiliki spirit yang sama dengan renungan Lukas 1: 46-56 ini, di mana orang itu berkata bahwa mengapa orang putus cinta, putus asa, stress, dsb, karena mereka tidak bahagia, mereka tidak terhubung dengan Sang Sumber kebahagiaan itu sendiri yaitu Allah itu sendiri.
Apa yang dikatakan oleh orang tersebut benar adanya, bahwa seringkali ketidakbahagiaan adalah awal mula dari segala pergumulan dan permasalahan hidup! Sebab kebahagiaan yang sejati tentu menuntut jejalinan relasi dengan Tuhan. Dan tentu hal ini juga berkaitan erat dengan keselamatan seseorang. Dengan kata lain, ketika sesorang tidak memiliki relasi yang baik dengan Tuhan maka ia tidak akan paham dan salah konsep dan kemengertian mengenai apa itu kebahagiaan yang sejati. Oleh karena itu di dalam Alkitab diperlihatkan apa sebenarnya kebahagiaan itu dan bagaimana hubungannya dengan Allah dan karya-Nya. Jadi, dapat dikatakan bahwa kebahagiaan yang benar bergantung dari pengenalan yang benar terhadap Allah dan relasinya dengan-Nya.
Pemazmur 1 mengatakan bahwa seseorang disebut berbahagia karena ia diberkati Tuhan, karena ia merenungkan fiman Tuhan. Pengkhotbah 2 mengatakan bahwa seseorang tidak dapat menikmati apa pun di luar Allah. Di dalam Matius 5 yang dikenal sebagai khotbah di bukit, Tuhan Yesus mengatakan “berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela”. Jadi, firman Tuhan mengatakan dengan jelas bahwa kesukacitaan, kegembiraan, dan kebahagiaan sejati terjadi adalah hanya karena Allah. Bukan karena yang lain, hal itu tidak dapat diperoleh di tempat yang lain, sebab di tempat lain hal-hal itu; kegembiraan kesukacitaan, keselamatan, dan kebahagiaan hanyalah semu dan sementara. Tetapi di dalam Tuhan dan hanya karena-Nya saja lah keselamatan, kesukacitaan, kegembiraan, dan kebahagiaan sejati menjadi bagian kita, yang melampaui apa yang terjadi, melampaui apa yang kita pikirkan dan diberikan oleh dunia ini.
Hal inilah yang dirasakan oleh Maria di dalam bacaan kita hari ini sehingga ia mengatakan “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia” (Lukas 1: 46-48). Di sini Maria dengan tegas mengatakan bahwa ia akan disebut berbahagia, bahwa jiwanya memuliakan Tuhan, dan hatinya sangat bergembira, dan semuanya itu adalah karena Allah. Allah yang menyelamatkannya, Allah yang sangat memerhatikannya sebab ia dipandang rendah. Jadi, kegembiraan dan kebahagiaan Maria di tengah pergumulannya tidak ia peroleh dari dan di tempat lain, tetapi di dalam Allah. Allah yang begitu mengasihi dan mencintainya sehingga menyelamatkannya dan menyelamatkan umat-Nya walaupun ia dan umat-Nya dimarginalkan, dipandang rendah dan hina.
Kata rendah atau direndahkan di sini dapat kita artikan dengan berbagai makna. Pertama, Maria sadar bahwa ia hanyalah seonggok daging, manusia yang berdosa, yang memiliki banyak keterbatasan dan kelemahan, namun walaupun demikian, Allah mengangkat, menjadikanya hamba-Nya, menjadi alat, mitra-Nya di dalam mewartakan karya keselamatan dari-Nya. Yang kedua, Maria mau menunjukkan bahwa ia juga direndahkan, baik sebagai perempuan, maupun karena hal-hal yang ia alami, yang rentan terhadap gunjingan dan cemoohan orang lain di sekitarnya.
Kata rendah diterjemahkan oleh Terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia Sederhana menjadi “hina”, “Ia ingat daku, hamba-Nya yang hina! (Lk. 1:48 BIS). Maria bergerak dari pengidentifikasian diri secara personal menuju dorongan, pembaharuan mengenai keadaan perempuan pada waktu itu baik secara politik, sosial, maupun budaya. Hal ini terlihat ketika kata rendah tersebut ia ulangi kembali pada ayatnya yang ke-52, “…Ia..meninggikan orang-orang yang rendah” (TB), dan BIS kembali menerjemahkan bagian ini menjadi “orang-orang yang hina”.
Secara umum, di zaman Maria, bahkan hal ini masih terdapat di beberapa daerah di dunia maupun di Indonesia, di mana di dalam masyarakat perempuan seringkali dilihat hanya sebagai kasta kedua setelah laki-laki, bahkan mereka seringkali dilihat hanya sebagai obyek semata. Artinya disetarakan seperti benda, harta paling berharga di dalam kehidupan yang kesemuanya didominasi oleh laki-laki. Dengan pemahaman seperti ini kita dapat bayangkan betapa besarnya, beratnya beban yang dipikul Maria, sebab sudah dilihat benar-benar rendah di mata masyarakat sebagai seorang perempuan, ditambah lagi, dengan adanya anggapan ia hamil di luar nikah karena belum bersetubuh dengan Yusuf. Dan, jika Yusuf tidak mengambilnya dengan segera sebagai istri, maka bisa-bisa ia akan dirajam, dilempari batu hingga mati. Dalam konteks yang demikian Maria datang menghampiri Elisabeth, karena ia pun pernah di posisi yang mirip dengan Maria, yang dihina, dipandang rendah oleh masyarakat karena tidak memiliki keturunan, Maria dan Elisabeth saling menguatkan, tidak hanya karena mereka memiliki rasa sepenanggungan, mereka juga sama-sama hendak membuktikan karya Allah, janjiNya yang dinyatakan kepada mereka.
Keadaan Maria emang amat berat ketika itu, namun ia tetap bersukacita, bergembira dan berbahagia, jiwanya memuji dan memuliakan Tuhan, dan sebagaimana yang kita saksikan dalam bacaan kita hari ini, dikatakan bahwa hal itu terjadi hanya karena Allah semata. Allah yang bagaimana sehingga dapat membuat Maria melihat segala sesuatu secara berbeda bahkan dapat bersukacita di tengah kekalutan hidupnya? Ayat 46 mengatakan bahwa Maria dapat berbahagia dan memuji memuliakan Tuhan di tengah pergumulannya karena ia yakin dengan sungguh bahwa Allah lah juruselamatnya yakni Allah yang mahakuasa (ay. 49), Allah yang penuh dengan rahmat (ay. 50), Allah yang berlimpah kebaikan dan kasih setia (ay. 53), dan karena ia memiliki Allah yang tidak pernah lalai menepati janji-Nya (ay. 55). Kesemuanya ini merupakan jaminan bagi Maria untuk berbahagia dan bersukcita di tengah pergumulannya. Inilah makna natal bagi Maria, di mana damai, sukacita dan kebahagiaan oleh karena pengorbanan cinta kasih melampaui segala pergumulan dan kekalutan hidup. Maria sadar bahwa Allah berkorban dengan jalan turun ke dalam dunia ini demi umat-Nya yang membawa perdamaian dan keselamatan serta kesukacitaan.
Hal ini juga yang menginspirasi Maria, sehingga ia mau berkorban, sebagai media yang dipakai Allah untuk mewujudkan rencana-Nya. Maria mengorbankan kebebasannya, kehormatannya, dan kebahagiaannya menurut ukuran dunia. Ia tidak akan bergumul dan berada di dalam masalah jika tidak menerima perintah Tuhan untuk mengandung sang bayi Juruselamat umat-Nya. Tetapi Maria rela berkorban dengan mengandung-Nya, ia rela menanggung derita dan cacian karena akan dianggap sebagai perempuan yang tidak tahu diri (hamil di luar nikah), ia rela akan dibenci oleh Yusuf karena dianggap menghianati cintanya, ia rela berkorban begitu banyak untuk hidup menurut perkenanan Tuhan. Ini adalah makna Natal bagi Maria, sebuah kerelaan untuk berkorban demi terwujud-Nya perkenanan Allah, keselamatan dari-Nya, dan ia tetap bersukacita dan berbahagia di tengah gumul dan masalah yang yang melanda. Bagaimana dengan saudara/i, apa makna Natal bagimu? Maukah engkau berkorban seperti Maria agar hidupmu dipakai Tuhan dan diperkenankan-Nya? Maukah engkau mengorbankan hal-hal berhargamu, uangmu, waktumu, dsb, untuk pekerjaan dan kemuliaan Tuhan?
Hari ini kita diingatkan tentang makna Natal yang sesungguhnya bahwa Natal adalah sebuah pengorbanan, terwujudnya cinta kasih Allah untuk menyelamatkan setiap kita yang penuh dengan dosa ini. Kita juga diingatkan bahwa sukacita kegembiraan, keselamatan, dan kebahagiaan yang sejati hanya terjadi karena Allah semata, ketika kita mengenal Allah, Sang Juruselamat itu sendiri dengan benar, di mana pengenalan akan Dia akan menyadarkan kita tentang siapa Ia dan diri kita seperti Maria, sehingga hidup kita akan dibaharui dengan perubahan dan perspektif yang baru di dalam melihat dan menjalani hidup ini. Jadi terdapat hubungan yang erat antara sukacita kegembiraan, keselamatan, dan kebahagiaan yang sejati dengan pengenalan akan Dia dan pengenalan kita akan diri sendiri. Oleh karena itu saudara, pada saat ini saya mengajak kita untuk berdiam diri. Kita berefleksi mengenai dua hal penting yakni yang pertama, siapakah Allah dalam hidup saudara dan bagaimana saudara melihatNya selama ini? dan siapa kah saudara di hadapan Allah? Hal ini akan menentukan bagaimana sikap hati kita di dalam menyambut-Nya. Yang kedua, jika Allah adalah juruselamat kita, sumber kebahagiaan dan kegembiraan kita yang rendah ini: yang terpinggirkan ini, yang hanya seonggok daging, penuh dosa, kelemahan dan kerentanan ini, maka kebahagiaan dan sukacita kita hendaknya juga kita bagikan dengan orang-orang yang terpinggirkan yang lainnya, yang seringkali dianggap rendah di dalam masyarakat; baik rendah secara fisik, ekonomi, sosial, budaya, politik, dsb. Sebagaimana Allah juga berbagi kepada kita yang hina dan terpinggirkan ini dengan jalan turun ke dunia untuk menjenguk, menebus, dan menyelamatkan setiap kita.
Hanya dengan sebuah kesadaran: pengenalan akan diri dengan baik dan pengenalan akan Allah serta perbuatan-perbuatan besar yang telah dan sedang dikerjakan-Nya, kita dapat merasakan apa yang dirasakan Maria—sukacita kegembiraan dan kebahagiaan dibalik kekalutan hidupnya. Oleh karena itu, mari, bersama-sama dengan Maria, Elisabeth, beserta orang-orang percaya yang mengalami sukacita kegembiraan dan kebahagiaan yang sejati di tengah segala hal yang sedang kita alami kita katakan “Muliakanlah Tuhan hai jiwaku” (PKJ 304). Biarlah lagu ini juga menjadi refleksi dan doa setiap kita di dalam menyambut-Nya di hari kelahiran-Nya yang menyukacitakan dan menyelamatkan ini.
Muliakanlah, hai jiwaku,
muliakan Tuhan, Allah,
Jurus’lamatku.
Muliakanlah, muliakanlah,
muliakan Tuhan, hai jiwaku!
Selamat hari Natal dan tahun baru 2023. Kiranya Natal tidak hanya sebuah momen sehingga berlalu begitu saja, tetapi biarlah Natal selalu menorehkan makna yang mendalam di dalam hidup kita. Kiranya spirit Natal terus kita hidupi di dalam keseharian hidup kita. Spirit rela berkorban agar hidup dipakai dan sesuai perkenanan-Nya. Spirit yang memuliakan Tuhan setiap hari, spirit hidup dan yang memiliki paradigma yang benar tentang kegembiraan—kesukacitaan, dan kebahagiaan yang sejati yang terjadi hanya karena Allah semata. Oleh karena itu, di dalam mengakhiri tahun ini dan memulai tahun depan, kiranya Allah saja yang menjadi fokus hidup kita. Kiranya sukacita kebahagiaan dan damai sejahtera Natal menaungi setiap kita. Amin.
Ev. Malemmita