Artikel Ekaristi: Missio Dei, Missio Christi, Missio Ecclesiae
Yohanes 17:13-19
Sebagai umat kristiani, kehidupan kita tidak terpisah dari ekaristi (perjamuan kudus). Menurut saya, ekaristi dapat dijadikan dasar untuk memahami karya Allah bagi dunia. Makna ekaristi memperkaya hidup kita. Ekaristi menggambarkan secara hidup (lively) misi Allah (missio dei), misi Kristus (missio christi) dan misi gereja (missio ecclesiae). Ekaristi mencerminkan sikap Allah yang tidak meninggalkan ciptaan-Nya (non-abandonment). Melalui renungan ini, saya mengajak Saudara untuk memaknai ekaristi dalam hidup kita.
Sebagai manusia, perjamuan makan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan kita sebagai makhluk sosial. Kita menikmati makan bersama dengan anggota keluarga dan sahabat-sahabat kita. Di perjamuan makan juga, Kristus membicarakan persahabatan murid-murid dengan diri-Nya. Persahabatan, hospitalitas, dan sharing, kerapkali terjadi di meja perjamuan. Ekaristi merupakan undangan Kristus untuk kembali kepada Allah. Dosa memisahkan manusia dari Allah, dan ekaristi mempersatukan kembali. Penolakan (rejection), pengasingan (alienation) dan keterpisahan (estrangement) menyebabkan perasaan hampa (emptiness), rasa takut (fear), kehilangan (loss), tidak berharga (worthless). Sehingga manusia berjuang dan bersaing untuk mendapatkan kembali rasa aman (sense of security), keberhargaan diri (sense of worthiness) dan perasaan diterima (sense of acceptance), perasaan dihargai (sense of recognition) dan perasaan kepuasaan (sense of fulfillment). Persahabatan di dalam ekaristi yang menyenangkan memberikan sukacita yang penuh (Yoh. 17:13) karena kehampaan berubah menjadi kepenuhan, ketakutan menjadi damai sejahtera, perasaan tidak berharga menjadi berharga, perasaan tertolak menjadi diterima, perasaan tidak diakui menjadi diakui, perasaan tidak puas, terpuaskan. Singkat kata, ekaristi merupakan pemulihan relasi. Ekaristi bersifat relasional karena terjalinnya persahabatan di dalam Kristus (koinonia) yang menerima satu roti (1 Kor. 10:16-17).
Ekaristi juga mengandung makna pengorbanan (sacrficial). Kristus menyerahkan diri-Nya, Ia menanggung kepedihan dunia (world-sorrow). Ia ditolak secara poltik karena dituduh hendak membangkitkan pemberontakan, secara agamis karena dituduh menistai Tuhan. Padahal Ia mengajaran tentang Kerajaan Allah (Shalom) yang berorientasi pada cinta kasih dan keadilan. Ia memberikan pembebasan (liberation), pemulihan (reconciliation) dan pembaruan (renewal) bagi dunia. Ia memberitakan kabar baik bagi yang miskin, yang tertindas dan yang lemah. Ia membebaskan manusia dari belenggu dosa memulihkan martabat manusia. Karena cinta kasih-Nya bagi dunia, Ia mengalami kepahitan akibat ketidakadilan manusia (bitterness of human injustice).
Ekaristi menegaskan penyatuan material dan spiritual. Roti dan anggur adalah roti dan anggur (materi). Namun roti dan anggur juga merupakan makanan dan minuman rohani (spiritual). Kehidupan materi (mundane reality) tidak terpisah dengan kehidupan rohani (spiritual reality). Ekaristi tidak bersifat dualis, tidak menolak realita materil, tetapi bersifat holistik. Yohanes 17:16-18 menggambarkan kehidupan kita sebagai “tidak berasal dari dunia” (mengalami transenden), tetapi “diutus ke dalam dunia” (menjadi immanen). Ekaristi mengingatkan kita untuk tidak melarikan diri dari dunia atau tidak menjadi ekslusif dari dunia. Sebaliknya, diutus ke dalam dunia sebagai “sakramen” - roti dan anggur kehidupan. Firman Allah menjadi kebenaran (aletheia) yang menguduskan (Yoh. 17:17, 19). Aletheia disingkapkan (disclosure of truth). Kebenaran memiliki kekuatan untuk menguduskan karena membebaskan kita dari paradigma yang bersifat membelenggu, memperbudak, dan ekploitatif. Kebenaran juga mendatangan clash of worldview - tabrakan paradigma. Kebenaran memberikan struktur berpikir, parameter logika dan referensi moral.
Ekaristi juga mengingatkan kita akan pengharapan terhadap perjamuan Anak Domba (Mat. 26:29), oleh sebab itu kita menyanyikan maranatha (1 Kor. 16:22; Why: 22:20). Ekaristi mengandung makna penantian (adventus) terhadap pemulihan ciptaan (Why. 21:5). Atas dasar inilah, kita menjadi high priest par excellence yang bersahabat, membebaskan, memulihkan dan memperbarui dengan visi Shalom. Sebagai high priest par excellence di dunia, kita menjadi sahabat yang otentik dan tulus di tengah kepedihan dunia yang didorong kebencian, kecurigaan, rasa takut, merasa tidak berharga, kompetitif, hampa, kesepian dan merasa tertolak.
Ps. Lan Yong Xing